Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, saat ini DPR RI sedang membahas RUU Kesehatan Omnibus Law. Ada 15 UU Yang akan disasar RUU Kesehatan ini, di antaranya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Ketua Umum Institut Hubungan Industrial Indonesia Sapul Tavip menyampiakan beberapa pasal RUU Kesehatan yang merevisi UU BPJS isinya dikahawatirkan akan mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

“Pada RUU Kesehatan ini kedudukan BPJS ditempatkan di bawah menteri. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan,” ungkapnya (28/1/2023).

Lebih dari itu di Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian. Yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Pada UU BPJS dengan sangat jelas Direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewan Pengawas tidak ada mengatur untuk melaksanakan penugasan dari menteri.

Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan. Dalam naskah RUU Kesehatan BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN seperti yang diatur dalam draf Pasal 13 huruf (l).

“Sementara dalam UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui menteri, dengan tembusan kepada DJSN,” ujar Sapul.

Unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 unsur pekerja, 1 unsur pemberi kerja, dan 1 unsur tokoh masyarakat.

Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur pekerja, 1 orang unsur pemberi kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Baca juga:  20 TKA YANG MASUK BANTAENG BELUM KANTONGI IZIN KERJA

Pada UU BPJS, komposisi Dewan Pengawas masing-masing BPJS adalah 2 orang dari unsur Pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan), 2 orang unsur pemberi kerja, 2 orang unsur pekerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Penambahan jumlah Dewan Pengawas dari unsur Pemerintah tersebut, kata Sapul disertai kontrol kuat Menteri terhadap Dewan Pengawas tersebut. Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan, dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada Presiden.

Mengacu pada Pasal 34 ayat (2) usulan pemberhentian Dewas Direksi dilakukan oleh Kemenaker kepada Presiden. Dalam UU BPJS, Menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian Direksi maupun mengganti Dewan Pengawas unsur Pemerintah, karena Direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab langsung ke Presiden.

Dan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan menjadi ketua Pansel untuk bidang Kesehatan dan bidang Ketenagakerjaan. Ketentuan di UU BPJS, Presiden membentuk pansel, dan Ketua Pansel bukan Menteri.

“Dari perbandingan pasal per pasal di atas dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memposisikan Direksi dan Dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah Menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri,” jelas Sapul.

Dari proses pengangkatan hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan menteri. Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan.

Menurut Sapul, status Badan Hukum Publik yang diamanatkan pasal 7 ayat (1) akan menjadi bias dan hambar ketika kepentingan publik yang diwakili Direksi dan Dewan Pengawas dikendalikan menteri, dan juga dikendalikan partai politik di mana menteri-menteri tersebut berasal.

“Pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan tiga asas menurut UU BPJS, yang salah satunya adalah asas manfaat yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana,” katanya.

Baca juga:  BURUH SUBANG MENOLAK KENAIKAN UPAH MINIMUM BERDASARKAN PP 78

Sapul melanjutkan, prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS juga akan terganggu dengan hadirnya pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut.

Intervensi dengan klaim penugasan akan mengganggu pelaksanaan prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, dana amanat, dan prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Prinsip dana amanah akan menjadi dana private yang dikontrol Menteri. Hal ini berpotensi menurunkan imbal hasil program JHT bagi saldo JHT pekerja. Serta imbal hasil program jaminan sosial ketenagakerjaan lainnya yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan seluruh program tersebut.

Pengelolaan dana pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sekitar Rp630 triliun sudah dirasa aman dengan pengaturan menurut UU BPJS.

Dikhawatirkan dengan adanya rencana perubahan dalam RUU Kesehatan tersebut, dana pekerja/buruh yg dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan saat ini akan mudah dikendalikan Menteri Ketenagakerjaan.

“Demikian juga aset bersih Dana jaminan sosial (DJS) Program JKN di BPJS Kesehatan yang saat ini sudah mencapai Rp54,7 triliun, serta pendapatan iuran JKN yang mencapai Rp143 Triliun (Data akhir Desember 2022), akan  rawan digunakan untuk kepentingan lain di luar program JKN. Dampaknya akan berpotensi menciptakan defisit pembiayaan JKN yang akan berdampak langsung pada penurunan pelayanan JKN kepada masyarakat,” jelas Sapul.

Beberapa kasus kerugian pengelolaan dana Jamsostek pada saat masih menjadi BUMN, hingga dipidananya Direktur Utama PT Jamsostek pada waktu yang lalu menurut Sapul, merupakan gambaran umum ketika pengelolaan dana jaminan sosial sarat dengan kepentingan pribadi dan politik.

“Bila RUU Kesehatan akan mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memposisikan Menteri mengontrol BPJS maka RUU Kesehatan menjadi kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas, dan RUU Kesehatan menjadi pengkhianatan besar atas perjuangan KAJS,” pungkasnya.

SN 09/Editor