Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) pada Selasa (4/7/2023). Perkara yang diregistrasi MK dengan Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang menyatakan, “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.”

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, Leo mengatakan telah memperbaiki permohonan. “Pertama, saya sudah memperbaiki terkait masalah perihal yang dimana waktu permohonan sebelumnya itu saya salah mencantumkan pasal dimana dalam permohonan sebelumnya itu saya mencantumkan Pasal 256 semestinya Pasal 56 ayat (3) sudah saya perbaiki. Kemudian juga saya sudah memperbaiki tulisan-tulisan typo,”ujarnya.

Berikutnya, sambung Leo, terkait alasan permohonan ia sudah melampirkan bukti tambahan yaitu bukti P-4 yang mana bukti tersebut merupakan parklaring pengalaman kerja yang mana parklaring itu sebagai gambaran agar kedepannya atau mungkin sangat potensial apabila saya menjadi karyawan dengan status PKWT sangat dirugikan terhadap pemberlakuan norma Pasal 56 ayat (3) dimana pemohon merasa pasal a quo ini tidak memberikan batas waktu kapan PKWT ini diperpanjang dan kapan PKWT ini dapat diperlakukan seperti ini sehingga tidak jelas dan sangat rentan ekploitasi.

Baca juga:  BURUH SUBANG TOLAK REVISI UU NO 13/2003

“Kemudian, di legal standing kedua juga sudah diperbaiki. Pemohon tidak bisa berbuat banyak dengan perusahaan yang melakukan kontrak kerja selama 5 tahun atau lebih karena perusahaan atau pemberi kerja pasti membuat dalil sudah mengikuti undang-undang. Dan undang-undang juga sudah memberikan kebebasan kepada pemberi kerja untuk melakukan perpanjangan PKWT 5 tahun atau lebih dari itu,”terang Leo.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan sebagai warga negara yang berusia produktif bekerja meskipun pemohon belum bekerja tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.

Baca juga:  DEMO BURUH DISIKAPI DENGAN KEKERASAN OKNUM POLISI

Membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, Pemohon menegaskan bahwa di dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon. Terhadap hal tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2256 56 ayat (3) UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”

SN 09/Editor