Ilustrasi

(SPNEWS) Yogyakarta, Sejumlah organisasi profesi kesehatan di DI Yogyakarta menyatakan sikap terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law , pada (18/11/2022) siang di Grand Mercure Yogyakarta Adi Sucipto.

Organisasi itu diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Terapis Gigi Mulut (PTGM), Ikatan Psikolog Klinis (IPK), Persatuan Ahli Gizi Seluruh Indonesia (Persagi) dan Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

Mereka menolak adanya RUU tersebut lantaran melihat ketiadaan urgensi. Mereka juga merasa, organisasi profesi tidak dilibatkan dalam proses penyusunan naskah rancangan.

Ketua IDI DIY, Joko Murdianto membacakan pernyataan sikap yang terdiri dari enam poin, diantaranya:

1. Perubahan mendasar dan peleburan UU kesehatan diantaranya termasuk UU tentang Profesi kesehatan, UU tentang kesehatan yang lain (9 UU) menjadi UU Kesehatan Omnibus Law tidak cukup urgensi dan relevansinya untuk dimasukkan dalam Prolegnas 2022-2023

2. UU Kesehatan yang sudah ada saat ini sudah berjalan dengan baik dan efektif, mengatur regulasi tentang tenaga medis, tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan, penjaminan mutu dan organisasi profesi. Penghilangan UU ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada masyarakat luas dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena dilayani oleh tenaga yang tidak terjamin mutunya. tidak hanya berpotensi negatif pada organisasi profesi, namun terutama pada masyarakat, karena dalam hal ini masyarakat lah yang pada akhirnya merasakan efek terbesar dari penghapusan UU tersebut.

Baca juga:  PERAN SERTA BURUH DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA

3. Hadirnya RUU Kesehatan Omnibus Law berpotensi menurunkan bahkan menghilangkan eksistensi serta peran organisasi profesi kesehatan dalam melakukan pembinaan, pengawasan, perlindungan, penjaminan mutu anggota dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat berdasarkan sumpah profesi, standar profesi, norma dan etika profesi. Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat terutama terhadap keselamatan pasien.

4. Kami mendukung upaya pemerintah dalam perbaikan sistem kesehatan nasional yang bersifat kompleks dan komprehensif, namun bukan dalam pembuatan RUU Kesehatan Omnibus Law. Urgensi perbaikan Sistem Kesehatan Nasional saat ini lebih pada perbaikan sistem kesehatan yang komprehensif mulai dari sistem pendidikan hingga pelayanan, pengentasan penyakit, peningkatan anggaran, pemerataan/distribusi tenaga medis dan kesehatan, pembiayaan dan penjaminan kesehatan dan jaminan perlindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan.

5. Menolak secara tegas pembahasan RUU kesehatan Omnibus Law, marilah kita bersama-sama meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mengefektifkan dan melaksanakan undang undang yang telah ada, saling bekerja sama dengan pemerintah pusat-daerah, organisasi profesi, dan masyarakat.

6. Menyampaikan dengan segala hormat untuk mengeluarkan RUU tersebut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Ia mengatakan, organisasi profesi tidak tahu siapa yang membuat naskah akademik dari RUU itu.

“Ada 454 pasal RUU itu siapa yang buat tidak tahu. Karena isi rencana RUU Kesehatan Omnibus Law kita tidak tahu, kami tidak bisa menjamin pelayanan untuk masyarakat,” ujarnya saat konferensi pers.

Baca juga:  DARURAT NASIONAL PREDATOR ANAK DI BAWAH UMUR

Joko menjelaskan, pengurus pusat terus mengkaji dan melakukan lobi dengan lembaga legislatif dan baru beberapa waktu belakangan, ada rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Ditanya mengenai dampak pengesahan RUU Kesehatan, Joko menjelaskan, ada poin yang menjadi pembahasan intens, mengenai pembaruan sertifikasi dokter dan tenaga kesehatan.

Selama ini, para dokter dan nakes wajib memperbarui sertifikasinya selama lima tahun, untuk mengetahui kemampuan apa yang sudah dimiliki.

“DI RUU ini, surat izin praktik (SIP) bisa berlaku seumur hidup. Ini bahaya. Apabila izin diberikan tanpa batas waktu, masyarakat rugi. Semakin banyak orang tidak bertanggung jawab mengaku sebagai dokter meski tidak kuliah di kedokteran,” kata dia.

Ketua Pengurus Daerah (PD) IAI DIY, Hendy Ristiono menjelaskan, SIP atau Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup bisa membahayakan karena organisasi profesi jadi tidak bisa melacak kemampuan para anggotanya.

Dia mencontohkan, bagaimana jika ada dokter yang sudah lama tidak berpraktik, kemudian ingin membuka praktik dengan mengandalkan SIP yang berlaku seumur hidup, padahal tidak diketahui sudah sampai mana keilmuannya.

“Kalau gitu, juga bisa mencoreng organisasi profesi dan tentu membahayakan masyarakat juga. Kita tidak bisa mengecek mereka,” tuturnya.

SN 09/Editor