PHK sepihak pekerja media adalah dampak turbulensi industri media yang mulai tampak beberapa tahun terakhir

(SPN News) Semarang, akhir – akhir ini marak terjadi kasus PHK pekerja media di Kota Semarang. Seperti yang terjadi pada pekerja media Harian Semarang, iNewsTV, Cakra, Koran Sindo, Wawasan, Tabloid Cempaka, PT. Masscom Graphy, dan terbaru koran . Selain kasus PHK juga terjadi kasus – kasus ketenagakerjaan lainnya.

“Sebelumnya, kurang lebih 93 karyawan Masscom Graphy juga dirumahkan pada 1 Mei 2018 lalu. Nasib karyawan perusahaan percetakan Group ini telah berkali ulang melakukan negosiasi. Namun hingga sekarang belum menuai titik temu dan tidak ada kejelasan,” kata Ketua Serikat Pekerja Lintas Media Abdul Mughis.

PHK sepihak pekerja media adalah dampak turbulensi industri media yang mulai tampak beberapa tahun terakhir. Namun tidak diantisipasi dengan serius oleh para pemilik perusahaan-perusahaan media.

“Hal ini terbukti dengan masih banyaknya perusahaan media yang melanggar prinsip – prinsip dasar Undang-Undang Ketenagakerjaan, mulai dari melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak, telat membayar upah karyawan, mencicil upah karyawan, mencicil pesangon PHK, bahkan memecat karyawannya tanpa pesangon sepeserpun!” katanya.

Advokat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Abdun Nafi Alfajri mengatakan selama 2018, Lembaga Bantuan Hukum Pers telah menangani 11 kasus ketenagakerjaan di tujuh perusahaan media.

“Dari 11 kasus tersebut, 5 kasus terkait masalah ”senja kala” media cetak, 1 kasus media daring yang tidak mampu bertahan secara bisnis, dan 5 kasus pelanggaran normatif ketenagakerjaan. Jumlah penerima bantuan hukum meliputi 22 jurnalis dan 1 pekerja media,” kata dia.

Kasus perselisihan ketenagakerjaan yang terjadi polanya hampir sama, hanya latar belakangnya saja yang berbeda-beda.

Baca juga:  KUNJUNGAN KERJA DPP SPN KE SPN KABUPATEN SIDOARJO

“Yang mesti digarisbawahi adalah masalah turbulensi media masih akan terus berlanjut ke depan dengan disertai pola-pola pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan. Kesadaran kawan-kawan media untuk berserikat masih minim. Mereka baru berbondong-bondong ketika terjadi kasus PHK. Berserikat adalah salah satu upaya agar jurnalis memiliki nilai tawar dalam ketenagakerjaan,” katanya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Semarang Edi Faisol mendesak pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan ota di peduli terhadap nasib pekerja media.

“Selama ini banyak kasus pelanggaran, tapi kami melihat pemerintah daerah abai,” katanya dalam aksi peringatan May Day di depan menara , Jalan Pandanaran.

Edi menyebutkan saat ini banyak pekerja media di tak mendapat upah sesuai nilai minimum kabupaten dan kota. Bahkan di Kota Semarang, Edi menyebutkan terdapat dua media besar yang jelas melanggar norma perburuhan yang merugikan para pekerjanya.

“Kedua perusahaan media cetak itu salah satunya harian Wawasan yang sudah tak terbit sekitar tiga pekan, perusahaan tersebut tak membayar upah, apa lagi pesangon ke pekerjanya,” kata Edi Faisol.

Menurut Edi satunya lagi media media juga sering telat membayar upah tanpa kompensasi, bahkan memecat pekerjanya satu hari mendekati May Day.

Ironisnya, kata Edi, hal itu justru tak disikapi oleh pemerintah daerah dalam hal ini dinas tenaga kerja provinsi maupun Kota Semarang. Ia menuding dinas provinsi cenderung tak mampu berbuat banyak karena saat AJI mengirim anggotanya untuk menanyakan kasus itu, dinas beralasan masih kekurangan tenaga pengawas industrial.

Bagi Edi, hal itu bukan menjadi alasan. Ia justru menuding ada hubungan konflik kepentingan antara birokrasi di pemerintahan dengan oligarki pengelola media.

Baca juga:  ALIANSI SERIKAT PEKERJA SERIKAT BURUH KABUPATEN SERANG AKSI UNRAS TOLAK OMNIBUS LAW

“Buktinya dinas itu tahu harian Wawasan dan jelas melanggar norma perburuhan, tapi dinas tak berani menindak secara tegas,” kata Edi.

Sebenarnya kasus yang menimpa para pekerja Suara Medeka dan wawasan itu sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu. Kondisi itu menjadikan AJI Semarang menetapkan sebagai daerah darurat bagi pekerja media.

Kepala Disnakertrans Jateng Wika Bintang mengatakan, mayoritas kasus yang ada di Jateng didominasi industri yang menggaji buruh tidak sesuai dengan standar UMK.

“Saat ini ada dua media yang mengadu pada Disnaker karena upahnya di bawah UMK,” kata dia.

Dinas Tenaga Kerja Provinsi mencatat, ratusan perusahaan di Jateng masih memberi upah buruh di bawah standar Upah Minimum Kabupaten di Jateng.

Ia mencatat, dari hasil rekapitulasi Disnaker Jateng selama 2018, dari 3.122 ribu perusahaan yang diperikasa, terdapat 437 perusahaan yang melanggar.

“Kurang lebih terdapat 13 persen perusahaan yang tidak memberi upah sesuai standar upah minimum,” kata dia.

Ia menegaskan bagi perusahaan yang tidak membayarkan gaji sesuai UMK bakal kena sanksi administratasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 pasal 90 ayat (1).

“Bagi perusahaan yang menggaji buruh tidak sesuai UMK bisa dikenakan sangsi pidana paling lambat 1 tahun dan paling lama 4 tahun beserta denda sebesar Rp100- Rp400 juta,” kata dia.

Disnaker, kata dia, membuka seluas-luasnya pintu masuk bagi masyarakat untuk melaporkan pengaduannya selama 24 jam kepada Disnaker.

“Saya minta pekerja yang dirugikan segera datang ke Disnaker agar dapat kami tindak lanjuti,” kata dia.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor