Ilustrasi PTUN Jakarta

PTUN Jakarta menolak gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung Tim Advokasi untuk Demokrasi atas Surat Presiden Joko Widodo terkait pengajuan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

(SPNEWS) Jakarta, Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN) Jakarta menolak gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung Tim Advokasi untuk Demokrasi atas Surat Presiden Joko Widodo terkait pengajuan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR RI.

Dilansir dari situs sipp.ptun-jakarta.go.id, Hakim Ketua Sutiyono bersama Hakim Anggota Nelvy Christin dan Enrico Simanjuntak memutuskan bahwa gugatan para Penggugat tidak diterima, putusan hanya dicantumkan secara online pada (19/10/2020).

“Menyatakan Gugatan Para Penggugat tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard); Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 362.000,” tulis putusannya dikutip pada (22/10/2020).

Dengan keputusan ini, Jokowi bebas dari gugatan yang diajukan oleh Koalisi Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Menanggapi putusan itu, kuasa hukum koalisi sipil dari LBH Jakarta Charlie Albajili mengatakan pihaknya menemukan kejanggalan dalam putusan tersebut.

Pertama, amar putusan hanya dicantumkan pada sistem e-court PTUN Jakarta tanpa melampirkan salinan putusan, Charlie menyebut hal ini bertentangan dengan pasal 13 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

“Hingga kini, para penggugat tidak dapat mengetahui putusan utuh dari PTUN Jakarta serta pertimbangannya sebab tidak mendengar putusan secara langsung dan tidak menerima salinan putusan meski sudah menjalankan kewajiban administratif,” kata Charlie, (22/10/2020)..

Baca juga:  TAK HANYA TEORI, TIM FASILITATOR DPC SPN KABUPATEN SERANG SIAP BERAKSI

Kedua, koalisi sipil tidak mendapatkan salinan putusan saat tanggal pembacaan putusan, ini dinilai sangat merugikan penggugat karena tidak dapat mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim.

Kejanggalan ketiga, para penggugat diwajibkan menggunakan sistem e-court tanpa dasar hukum yang jelas meskipun sudah datang secara langsung untuk mendaftar secara konvensional di PTUN Jakarta.

Charlie menjelaskan jika mengacu pada Peraturan MA 1/2019, Surat Edaran MA 1/2020 dan Surat Edaran Badilmiltun 187/2020, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran gugatan dengan e-court meski dalam situasi Covid-19.

“Penggunaan sistem e-court bahkan hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak. Para Penggugat telah mengajukan keberatan namun ditolak oleh majelis hakim dengan alasan sudah terlanjur terdaftar dalam sistem e-court,” jelasnya.

Berikutnya, majelis hakim juga tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya surpres hingga putusan akhir, padahal penggugat sudah memohon surpres ditunda sampai sidang ini menghasilkan putusan hukum tetap.

“Menurut para penggugat, majelis hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut, namun tidak dilakukan,” ujarnya.

Koalisi sipil juga menilai ahli administrasi negara, Yos Johan Utama (Rektor Undip), saksi ahli yang dibawa pemerintah berpotensi konflik kepentingan karena termasuk dalam Satgas Omnibus Law.

Charlie menyebut penggugat sudah menyatakan keberatan dengan saksi ini namun majelis hakim menolak dan tetap mengizinkan Yos Johan Utama memberikan keterangan.

Baca juga:  KANTOR BARU SEMANGAT BARU

Terakhir, ada dugaan majelis hakim mengulur waktu persidangan hingga RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR pada 5 Oktober 2020.

Di awal persidangan, kuasa hukum Jokowi meminta penundaan sidang hingga dua minggu hanya dengan alasan Jokowi belum memberikan surat kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara.

Kuasa hukum Jokowi juga beberapa kali meminta waktu cukup panjang untuk jawab menjawab dan kesimpulan yang diakomodir hakim meski penggugat (koalisi sipil) sudah menyampaikan keberatan.

Beberapa keputusan penundaan sidang melalui e-court bahkan telah diputuskan hakim tanpa memberikan kesempatan koalisi sipil menyampaikan tanggapan dan keberatan.

“Bagi Tim Advokasi, fakta bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan sebelum putusan diberikan sangat mempengaruhi pertimbangan hakim. Pasalnya jika RUU telah disahkan, maka telah muncul kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji proses penerbitan suatu RUU dan dengan mudah hakim TUN dapat menolak memeriksa gugatan atas dasar tersebut,” pungkas Charlie.

Diketahui, sidang dengan nomor gugatan 97/G/2020/PTUN.JKT sudah digelar sejak 9 Juni 2020, koalisi sipil meminta PTUN untuk menyatakan Surat Presiden itu batal atau tidak sah dan mewajibkan Jokowi mencabut surat tersebut.

Alasannya, Surpres itu telah melanggar prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah karena tidak melibatkan masyarakat seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja juga dinilai melanggar peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-undang Dasar 1945, hingga 27 dari 54 putusan Mahkamah Konstitusi.

SN 09/Editor