SPN News – Pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan ini diperkirakan berdampak besar pada daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga dapat menurun hingga Rp40,68 triliun akibat kenaikan tarif ini. Lebih jauh, Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan akan terkoreksi hingga Rp65,3 triliun. Inflasi juga akan meningkat, mencapai angka 4,11%, yang semakin membebani masyarakat.

Kelompok miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran bulanan sebesar Rp101.880, kelompok rentan miskin Rp153.871, dan kelas menengah Rp354.293. Untuk meredam dampak ini, pemerintah disarankan mempertimbangkan alternatif, seperti menurunkan PPN menjadi 8%, yang justru dapat meningkatkan PDB hingga Rp133,65 triliun.

Baca juga:  INVESTASI TINGGI, PENGANGGURAN TETAP TINGGI: AKANKAH INDONESIA KELUAR DARI DILEMA INI?

Kebijakan ini memicu kekhawatiran luas karena daya beli masyarakat telah melemah sejak triwulan III 2024, dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91% secara tahunan. Penurunan daya beli ini diperparah oleh deflasi selama lima bulan berturut-turut dan penurunan omzet UMKM hingga 60%.

PPN 12% tidak hanya mengancam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperbesar jurang ketimpangan sosial. Beban tambahan pada kelompok rentan dapat meningkatkan angka kemiskinan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Jika kebijakan ini terus dilanjutkan, risiko perlambatan ekonomi jangka panjang tidak terhindarkan.