SPN News – Indonesia telah lama bergulat dengan isu pengupahan yang layak bagi pekerja. Dua istilah yang kerap muncul adalah Upah Minimum (UM) dan Upah Layak (KHL). Keduanya memiliki fungsi dan perhitungan berbeda, namun sama-sama menjadi tolok ukur kesejahteraan pekerja. Artikel ini akan mengkaji perbedaan kedua istilah tersebut, sekaligus menelisik apakah upah minimum yang berlaku saat ini bisa dikatakan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar pekerja dan keluarganya.

Upah Minimum: Batas Bawah yang Belum Maksimal

Upah Minimum ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Besarannya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) di suatu daerah ditambah 50%. Namun, kenyataannya, perhitungan KHL ini seringkali menuai kritik karena dianggap tidak cukup mengakomodasi biaya hidup sebenarnya, terutama di kota-kota besar. Akibatnya, Upah Minimum yang diterapkan pun masih jauh dari ideal untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja dan keluarganya.

Upah Layak: Gambaran Hidup yang Lebih Sejahtera

Upah Layak (KHL) sendiri dihitung berdasarkan data riil pengeluaran konsumsi rumah tangga dan biaya sosial minimum pada tingkat provinsi/kabupaten/kota. Besarannya bisa bervariasi antar daerah mengingat perbedaan biaya hidup. Pada umumnya, Upah Layak lebih tinggi dibandingkan Upah Minimum karena lebih realistis dalam menggambarkan kebutuhan hidup pokok pekerja.

Baca juga:  BURUH JAKARTA UNJUK RASA DI BALAI KOTA TUNTUT KENAIKAN UPAH MINIMAL 13 PERSEN

Kesenjangan yang Mengkhawatirkan

Data dari lembaga penelitian independen seperti Gajimu menunjukkan bahwa pada tahun 2022, rata-rata Upah Minimum di Indonesia sebesar Rp2.727.996, sedangkan rata-rata Upah Layak mencapai Rp3.827.675. Ini artinya, kesenjangan antara Upah Minimum dan Upah Layak masih cukup besar, sekitar Rp1.100.000 atau setara dengan 40%. Kesenjangan ini tentu berdampak pada kualitas hidup pekerja dan keluarganya.

Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), nilai rata-rata konsumsi di Jakarta tembus Rp 14,88 juta per bulan. Angka ini tidak sebanding dengan upah minimum provinsi (UMP) Jakarta 2024 yang ditetapkan sebesar Rp 5.067.381 per bulan. Artinya, upah minimum di Jakarta masih jauh dari upah layak.

Berikut adalah perbandingan UMP Jakarta 2024 dengan beberapa wilayah sekitarnya:

Wilayah UMK 2024
Kabupaten Bogor Rp 4.579.541
Kota Bogor Rp 4.813.988
Kota Depok Rp 4.878.612
Kabupaten Tangerang Rp 4.601.988
Kota Tangerang Rp 4.760.289
Kota Tangerang Selatan Rp 4.670.791
Kota Bekasi Rp 5.343.430
Kabupaten Bekasi Rp 5.219.263

 

Menjembatani Kesenjangan: Tantangan dan Solusi

Menjembatani kesenjangan antara Upah Minimum dan Upah Layak bukanlah perkara mudah. Faktor-faktor seperti kondisi ekonomi nasional, daya saing industri, dan keberlangsungan usaha perlu dipertimbangkan. Namun, upaya untuk terus memperkecil kesenjangan ini tetap harus dilakukan. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:

Baca juga:  KENAIKAN UPAH 2022 SANGAT TIDAK LAYAK
  • Penetapan Upah Minimum yang Lebih Berkeadilan: Perhitungan KHL yang digunakan sebagai dasar Upah Minimum perlu diperbaiki agar lebih realistis terhadap kondisi biaya hidup aktual.
  • Penguatan Peran Dialog Bipartit: Peningkatan partisipasi serikat pekerja dan pengusaha dalam menentukan besaran Upah Minimum melalui dialog bipartit akan menghasilkan kesepakatan yang lebih adil.
  • Peningkatan Produktivitas Pekerja: Peningkatan keterampilan dan produktivitas pekerja dapat menjadi dasar bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi yang lebih baik, menjembatani kesenjangan dengan Upah Layak.
  • Penguatan Jaring Pengaman Sosial: Penguatan program jaminan sosial dan bantuan sosial pemerintah dapat membantu meringankan beban pengeluaran pekerja dan keluarga, terutama bagi mereka yang menerima Upah Minimum.

Jarak antara Upah Minimum dan Upah Layak di Indonesia masih menjadi problematika yang perlu dicarikan solusi. Upaya pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk bersama-sama memperkecil kesenjangan ini sangatlah penting guna mewujudkan kehidupan yang lebih layak dan sejahtera bagi para pekerja. Dengan begitu, keadilan sosial dan ekonomi yang dicita-citakan tidak lagi hanya sekedar harapan.