Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . Prinsip upah seharusnya berlandaskan kepada kemanusiaan dan berkeadilan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini juga diperkuat melalui Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Jadi kalau merunut kepada konstitusi dan aturan undang-undang dibawahnya jelas menyatakan bahwa upah itu harus berlandaskan kepada prinsip kemanusiaan dan berkeadilan yang tentu saja memenuhi kriteria “LAYAK”.

Mendefinisikan upah layak memang bukan perkara yang mudah. Layak memiliki konotasi, “ukuran”, “batasan”, ataupun “takaran”. Dalam terminologi kemanusiaan, layak dapat ditemukan dalam padanan kata “patut”, “pantas”, “mencukupi”, “setimpal”, “terhormat” dan “mulia”. Namun menurut Engels, untuk membangun pengetahuan mengenai upah yang dinilai layak, jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh daripada layak secara sosial . Lebih lanjut menurut Engels, “Kelayakan atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik”.

Baca juga:  MOROWALI GEGER! SPN GELAR AKSI SOLIDARITAS KORBAN LEDAKAN TUNGKU SMELTER, TUNTUT K3 DIPERKETAT

Engels mencoba untuk menyajikan pemahaman upah layak berdasarkan skala kebutuhan upah buruh dalam sehari kerja. Menurut Engels, upah sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence) yang diperlukan, sesuai standar hidup, kedudukan dan negeri  dan untuk menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja serta untuk mengembang-biakkan kaumnya (race). Tingkat upah-upah yang nyata (aktual), dengan fluktuasi-fluktuasi perdagangan, kadang-kadang mungkin di atas, kadang-kadang di bawah tingkat ini tetapi dalam keadaan-keadaan layak, tingkat itu seharusnya merupakan rata-rata semua ayunan (oskilasi).

Secara umum dari apa yang dikemukakan oleh Engels, upah yang layak dapat dimaknai sebagai keseluruhan komponen biaya yang dibutuhkan oleh seorang buruh untuk bekerja, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik, termasuk dalam hal kehidupan sosial. Aspek fisik adalah aspek yang menunjang pengembangan jasmani seorang buruh agar dapat bekerja secara efektif. Aspek ini mencakup kebutuhan gizi baik makanan dan minuman, tempat tinggal termasuk MCK, sarana kesehatan, pakaian yang layak, istirahat dan rekreasi hingga transportasi. Sedangkan aspek non-fisik adalah aspek yang dapat menunjang kualitas harkat dan martabat seorang buruh. Diantarnya sarana yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan kaum buruh, baik berupa buku, majalah, koran hingga media berbasis online sebagaimna yang kita kenal diabad modern sekarang ini. Aspek ini juga termasuk sarana komunikasi yang dapat membantu seorang buruh menjalani rangkaian aktivitas sosial disekelilingnya.

Baca juga:  KRIMINALISASI PENGURUS SPN PT LIEBRA PERMANA TERUS BERLANJUT

Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed