Banjirnya produk tekstil impor yang menjadi biang lesunya indusri tekstil sehingga berujung PHK.

(SPN News) Jakarta, Terjadinya pemutusan hubungan kerja ( PHK) di sektor tekstil bukan disebabkan oleh faktor upah. Banjirnya produk tekstil impor lah yang menjadi biang lesunya indusri tekstil sehingga berujung PHK. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, pengusaha tekstil dengan tenaga kerja telah sepakat pengaturan upah menggunakan skema PP No 78/2015 tentang Pengupahan.

Menurut dia, turunnya industri tekstil hingga terjadi PHK dikarenakan banyaknya barang impor. Oleh karena itu perlu ada tindakan pengamanan dan harmonisasi tarif bagi barang impor.

“Kami secara resmi men-submit safeguard ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan sudah mendapat persetujuan,” ujar Ade di Jakarta (16/9/2019).

Baca juga:  PERWAKILAN AKSI GERAKAN BURUH JAKARTA DITERIMA DPRD DAN GUBERNUR DKI JAKARTA

Dia mengatakan, safeguard diusulkan hanya akan dilakukan selama tiga tahun. Namun, pemberlakuan safeguard harus mengikuti aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain safeguard, API juga meminta harmonisasi tarif. Khususnya bagi barang impor yang berasal dari China karena ada ASEAN-China Free Trade Agreement.

Perjanjian dagang tersebut membuat tarif impor kain dan garmen menjadi 0 persen. Sementara untuk produk hulu ada bea masuk sebesar 5 persen bahkan ada tambahan tarif anti dumping hingga 9 persen.

“Tarifnya bisa ada yang menjadi 15 persen ada yang 20 persen, itu yang membuat industri kita jadi lemah,” kata Ade.

Harmonisasi diusulkan kepada Menteri Perindustrian (Menperin). Produk yang harus mendapat bea masuk 0 persen hingga 5 persen merupakan produk hulu sedangkan bea masuk kain 9 persen, dan garmen sebesar 12 persen.

Baca juga:  BLITAR, LUMBUNG PEKERJA MIGRAN INDONESIA

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor