Gambar Ilustrasi

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berpendapat, pemerintah ingin membumihanguskan perusahaan pers melalui RUU Omnimbus Law Cipta Kerja

(SPN News) Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menilai bahwa pemerintah terkesan ingin membumihanguskan perusahaan pers lewat RUU Omnimbus Law Cipta Kerja.

Hal ini disampaikan Abdul Manan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait pembahasan RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR RI, pada (11/6/2020).

Dalam RDPU itu, AJI menyoroti dua Pasal di UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang masuk dalam RUU Cipta Kerja, yakni Pasal 11 terkait penanaman modal asing dan Pasal 18 tentang pemidanaan dan sanksi denda baik kepada orang yang melakukan menghalangi pekerjaan jurnalis maupun terhadap perusahaan pers yang dianggap melanggar ketentuan UU Pers.

“Selain modal asing dan denda kami juga menyinggung soal peraturan pemerintah yang akan diberi kewenangan untuk mengatur jenis besaran denda dan tata cara serta mekanisme pemberian sanksi,” ucap Abdul Manan.

Pada intinya, AJI melihat tidak ada urgensinya memasukkan ketentuan Pasal 11 UU Pers ke dalam RUU Cipta Kerja, apalagi perbedaannya redaksionalnya sangat tipis, karena hanya menegaskan bahwa penanaman modal asing mengacu undang-undang terkait penanaman modal.

Baca juga:  UMK 2021 KOTA MOJOKERTO TIDAK NAIK

“Kami tidak melihat ada hal yang baru yang sebenarnya ingin diatur dalam RUU Cipta Kerja, malah menimbulkan tanda tanya karena memasukkan klausul pemerintah pusat mengembangkan usaha pers,” ujar Abdul Manan.

Berikutnya Pasal 18 yang mengatur soal ancaman pidana dan denda bagi orang yang menghalangi pers menjalankan fungsinya. Perbedaan ketentuan di UU Pers dengan Omnibus Law terdapat pada kenaikan sanksi denda dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. AJI pun mempertanyakan urgensi kenaikan itu.

Apalagi, berdasarkan pengkajian AJI, pasal ini sebenarnya harus diimplementasikan oleh polisi ketika menangani kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan. Mulai dari memukul wartawan sampai membunuh wartawan.

Tetapi dalam kenyataannya, pasal ini jarang dipakai karena kecenderungan polisi menggunakan pasal pidana umum dan jarang menggunakan ketentuan di UU Pers yang mengandung sanksi denda.

Kemudian, perusahaan pers yang melanggar ketentuan juga dikenakan sanksi denda yang dinaikkan dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. AJI memandang pemberian sanksi denda terhadap pers hendaknya dengan semangat untuk mendidik bukan membangkrutkan.

Baca juga:  PENYELESAIAN PERSELISIHAN DUALISME KEPEMIMPINAN SP/SB

“Saya kira dewan mengerti bagaimana iklim hukum dan kondisi ekonomi media-media kita ini. Berdasarkan standar syarat pembuatan perusahaan pers itu minimal 50 juta. Bisa dibayangkan kalau sanksi administratifnya sebesar dua miliar. Itu semangatnya bukan mendidik tetapi seperti membumihanguskan,” tegas Manan.

Sementara itu, terkait bagian sanksi administratif yang memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mengaturnya, dinilai AJI sangat krusial dan tidak sejalan dengan prinsip dari UU Pers yang semangatnya self-regulatory.

Abdul Manan menyampaikan bahwa terkait sanksi administrasif, dunia pers Indonesia agak trauma dengan istilah administratif karena pengalaman di masa Orde Baru, khususnya Kementerian Penerangan bisa mencabut izin perusahaan pers sehingga tidak bisa terbit alias dibredel.

“Saya kira kita punya pengalaman cukup panjang terkait itu, sehingga kami di komunitas sangat berhati-hati dengan memberikan kewenangan administratif kepada pemerintah ini,” tandasnya.

SN 09/Editor