Kita tentu sering mendengar kata union busting atau pemberangusan serikat pekerja/serikat buruh, tetapi banyak juga orang yang belum mengerti tentang union busting. Union busting adalah suatu praktek yang dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha yang berupaya untuk menghentikan aktivitas serikat pekerja/serikat buruh di perusahaannya. Upaya yang dilakukan memiliki bentuk yang bervariasi dengan menggunakan berbagai cara dan alasan. Pada saat ini union busting cenderung meningkat karena ada pembiaran yang dilakukan oleh pejabat dan atau instansi terkait yang seharusnya menjaga dan mengawasi pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana telah dijamin dan diatur oleh Undang-Undang baik itu UUD 1945 maupun UU turunannya seperti UU No 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.

Secara umum union busting memiliki dua bentuk dasar, yaitu : 1. Perusahaan atau pengusaha berupaya mencegah pekerjanya untuk membangun dan bergabung dengan serikat pekerja/serikat buruh. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan.agar perusahaan dapat secara bebas melakukan eksploitasi tanpa adanya kontrol dari sp/sb. 2. Perusahaan atau pengusaha berupaya untuk melemahkan kekuatan sp/sb yang telah ada dengan intimidasi, sanksi bagi pengurus dan anggota dan tindakan diskriminatif lain yang tujuannya untuk melemahkan kekuatan sp/sb.

Pola-pola union busting dapat kita lihat sebaai berikut :

Baca juga:  OUTSOURCING

1. Ada keterlibatan negara : 

a. Melalui UU No 21 Tahun 2000 tentang sp/sb. UU ini sengaja dilabeli secara berbeda : serikat pekerja/serikat buruh. Tujuannya adalah untuk mengkotak-kotakan antara pekerja dan buruh. Kemudahan untuk membentuk sp/sb dengan jumlah minimal 10 orang menyebabkan kemudahan untuk.membuat serikat tandingan. 

b. Melalui UU No 2 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dalam UU ini terdapat klausul khusus tentang perselisihan antar serikat, sehingga membuka peluang bagi pengusaha untuk membuat serikat tandingan yang akhirnya membuat serikat ini diadu domba sehingga sp/sb akan kehilangan fokusnya dalam perjuangan organisasi.

2. Mengahalangi buruh untuk bergabung di dalam.serikat.

3. Mengintimidasi.

4. Memutasi pengurus.dan atau anggota serikat.

5. Surat peringatan.

6. Skorsing.

7. Memutus hubungan kerja.

8. Membentuk serikat tandingan/serikat boneka.

9. Membentuk pengurus tandingan dalam serikat yang sama.

10. Menolak diajak berunding PKB.

11. Tidak.mengakui adanya PKB.

12. Membuat peraturan perusahaan secara sepihak.

13. Tidak memberikan pekerjaan.

14. Mengurangi hak/kesempatan.

15. Promosingkir yaitu pengusaha memberikan kesempatan.promosi kepada pengurus sp/sb sebagai iming-iming, umunya pengurus yang mendapat promosi mendadak dengan.asilitas yang menggiurkan merasa tidak enak hati mendapatkan promosi.dari.pengusaha sehingga akhirnya daya juangnya menjadi menurun.

Baca juga:  PENINGKATAN KAPASITAS PENGURUS SPN SUMATERA UTARA

16. Kriminalisasi.

17. Mengadu domba.

18. Dokrin anti serikat dipelajari juga oleh pengusaha.

19. Menyewa preman untuk.meneror.

20. Serikat yang ada merupakan serikat yellow yaitu serikat yang berpihak kepada kepentingan pengusaha.

Alasan mendasar mengapa pengusaha melakukan union busting adalah karena mereka menganggap serikat bisa berpengaruh buruk bagi kelangsungan usaha karena tujuan dari pengusaha adalah merauo keutungan sebesar-besarnya. Tentu saja para pengusaha sangat alergi dengan upah layak, kondisi dan keselamatan kerja yang sehat apalagi meningkatkan kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya. Jadi dengan kata lain sp/sb sangat mengganggu keleluasaan pengusaha untuk membayar upah buruh semurah-murahnya dan menelantarkan nasib buruh dan keluarganya. Di Indonesia sejak disyahkannya UU No 21 Tahun 2000 tentang SP/SB, setiap tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai union busting adalah merupakan tindak pidana yang dapat dihukum. Pasal 43 dalam UU ini menyatakan “barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, dikenakan sangsi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 500.000.000,-. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak kejahatan.

Shanto dari berbagai sumber/Coed