Gambar Ilustrasi

Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui pembantu sebagai pekerja dan hanya menyebut sebagai pembantu rumah tangga.

(SPN News) Jakarta, Organisasi pemantau pekerja wanita Tenaganita mengungkapkan, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui pembantu sebagai pekerja dan hanya menyebut sebagai pembantu rumah tangga.

Menurut Asosiasi Pengusaha Pembantu Malaysia (MAMA) pada 2018 terdapat lebih dari 250.000 pekerja rumah tangga terdaftar di Malaysia yang semuanya adalah pekerja migran.
“Pekerja rumah tangga memberikan layanan yang tak ternilai di rumah dengan merawat anak-anak, orang tua dan lemah, dan mengelola rumah tangga, sehingga memungkinkan orang Malaysia menikmati standar hidup yang jauh lebih tinggi,” kata Direktur Tenaganita Sdn Bhd Glorene A Das, (18/12).

Baca juga:  CAPACITY BUILDING SPN KALIMANTAN TENGAH

Tenaganita memandang, bahwa Perayaan Hari Migran Internasional akan tetap tidak berarti bagi ribuan pekerja rumah tangga yang bekerja keras untuk waktu yang lama, jam yang tidak diatur, sering dibayar rendah atau tidak dibayar, kehilangan makanan yang layak, tempat yang layak untuk beristirahat dan sebagainya.

Tenaganita berpendapat, pekerja rumah tangga sepenuhnya dikecualikan dari Orde Upah Minimum sejak awal (2012) hingga amandemen terakhir (2018). “Kami secara teratur menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga yang tidak dibayar sama sekali selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun,” ujarnya.

Dalam kasus terbaru, Tenaganita memperoleh data terdapat lebih dari RM 70.000 upah yang belum dibayar selama hampir sembilan tahun (2011-2019) dari seorang majikan yang lebih rendah dari upah minimum.

Baca juga:  PPKM DARURAT, 12.475 PEKERJA MAL DI BANDUNG DIRUMAHKAN

Hingga September 2019 Tenaganita telah menangani kasus 55 wanita dan 45 pria di Lembah Klang (Kuala Lumpur dan sekitarnya) dan 48 wanita serta 28 pria) di Penang. Hal ini termasuk kasus tahun lalu yang masih dikelola pada 2019.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia, Wahyu Susilo mengatakan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) masih sangat rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan sebagai pekerja migran.

“Kami mendesak pemerintah segera menyusun peta jalan perlindungan pekerja migran Indonesia yang berorientasi pelayanan publik, berwatak desentralisasi dan bersperspektif keadilan dan kesetaraan gender,” pungkasnya.

SN 04/Editor