Banyak hak pekerja perempuan terutama di Sumatera Selatan (Sumsel ), yang belum dipenuhi perusahaan, seperti hak cuti haid, hak berkarir, dan keamanan saat bekerja
(SPN News) Palembang, Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sepertinya belum maksimal dirasakan para pekerja perempuan. Banyak hak pekerja perempuan terutama di Sumatera Selatan (Sumsel ), yang belum dipenuhi perusahaan, seperti hak cuti haid, hak berkarir, dan keamanan saat bekerja. Hak cuti haid dalam dunia kerja di Sumsel diperkirakan belum terlalu banyak dinikmati para pekerja perempuan. Women Crisis Center (WCC) Palembang bahkan mendapat pengaduan dari pekerja perempuan yang sulit mendapatkan cuti haid saat bekerja.
Yuni (27), mantan karyawan di salah satu fasilitas kesehatan (faskes) di Palembang tidak mengetahui jika ada cuti menstruasi yang didapatkan pekerja perempuan.
“Walau saya bekerja di kantoran, tapi aktifitas yang padat sering membuat saya keletihan, terutama saat menstruasi. Bahkan, saya tidak tahu ada cuti menstruasi, pihak kantor juga tidak memberitahunya,” ungkapnya, (6/7/2018).
Sementara, Annisa (26), warga Jalan Angkatan 66 Palembang mengatakan, lamaran pekerjaannya sering ditolak karena statusnya sudah menikah. Wanita yang pernah bekerja sebagai guru honorer ini merasa putus asa, karena pembatasan syarat karyawan membuatnya susah berkarir.
“Sudah banyak lamaran kerja yang mau saya kirim, tapi perusahaan yang membuka lowongan kerja selalu menuliskan persyaratan utama yaitu masih lajang. Ini merupakan tindakan diskriminasi bagi perempuan,” katanya.
Direktur Eksekutif WCC Palembang Yeni Roslaini mengatakan banyak pekerja perempuan yang enggan mengadukan hak-haknya yang terampas di dunia kerja, karena ketakutan akan kehilangan pekerjaan dan gugatan dari perusahaannya. Namun, ada juga para pekerja wanita yang berani menyuarakan tindakan diskriminasi yang dialaminya terutama sulitnya mendapatkan hak cuti haid.
“Dua tahun lalu kami mendapat laporan dari salah satu pekerja perempuan di salah satu perusahaan besar di Sumsel , karena tidak mendapatkan hak cuti haid. Padahal, ada perlindungan khusus pekerja perempuan yang sudah diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker),” katanya.
Yeni menyebutkan para pekerja perempuan awalnya mendapat hak cuti selama satu hari, meskipun rasa sakit saat haid bisa berlangsung selama 2-3 hari. Hak cuti bisa didapatkan dengan pemotongan gaji di saat cuti oleh perusahaan tersebut. Kebijakan tersebut hanya berlangsung sekitar lima bulan. Diduga karena perusahaannya merasa terganggu dengan pengurangan jam kerja, ada upaya dari pihak perusahaan untuk memberhentikan pekerja tersebut dengan mencari-cari kesalahan.
WCC Palembang, Sumsel , akhirnya memediasi pekerja perempuan dengan pihak perusahaan, serta mengedukasi tentang aturan hukum dan hak-hak buruh. Perusahaan akhirnya mau menerima dan menjalankan hak-hak buruh perempuan di saat bekerja.
“Kejadian seperti ini akan banyak terjadi. Sosialisasi pentingnya pemenuhan kesehatan reproduksi sangat penting di tempat kerja. Karena ini juga akan berdampak pada kinerja para pekerja perempuan dan perusahaan,” katanya.
Meskipun tidak semua perempuan merasakan sakit saat memasuki siklus haid, lanjut Yeni Roslaini, tidak sedikit perempuan yang membutuhkan waktu istirahat saat mengalami menstruasi.
Tindakan diskriminasi lainnya yang dihadapi para pekerja perempuan di Sumsel adalah status pernikahan. Banyak perusahaan yang membatasi gerak para pekerja wanita yang sudah menikah.
“Ini jelas diskriminasi. Perusahaan hanya menerima pekerja perempuan lajang saja, karena perusahaan menilai yang sudah menikah tidak akan produktif bekerja, seperti adanya izin cuti hamil dan melahirkan,” ujarnya.
“Diskriminasi seperti ini membatasi perempuan berkiprah. Padahal, itu sudah kodrat perempuan untuk hamil dan melahirkan generasi penerus bangsa,” ujarnya.
Beberapa kelompok perempuan asuhan WCC Palembang juga mengeluhkan hal yang sama. Bahkan, beberapa wanita yang baru memulai kerja, harus menutupi status pernikahannya agar bisa terus bekerja dan menunjang perekonomian keluarga. Selain membatasi karir kaum perempuan, beberapa perusahaan juga membuat kebijakan perjanjian kontrak kerja, dengan persyaratan tidak boleh menikah dan hamil dalam jangka waktu tertentu.
“Kasus seperti ini banyak terjadi, walau para perempuan memberitahukan melalui diskusi dan tidak menindaklanjuti ke ranah lebih dalam dan lebih tertutup ke publik,” ujarnya.
Kasus pelecehan seksual di dunia kerja juga terus menjadi trauma berkepanjangan bagi para pekerja perempuan. Tidak hanya yang bekerja sebagai buruh, pelecehan seksual juga dialami wanita karir yang berkecimpung di perusahaan milik negara. WCC Palembang juga menjadi advokasi bagi perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di lingkungan kerjanya. Tekanan dari perusahaan, aib yang akan diketahui publik dan media massa serta ketakutan berhubungan dengan pihak kepolisian membuat para perempuan hanya bisa bungkam.
“Ada beberapa kasus yang diselesaikan secara ganti rugi dan damai secara kekeluargaan karena tidak siap berhadapan dengan polisi dan masuk pemberitaan. Ada tersangkanya yang berakhir di pesakitan. Tapi ada juga yang tidak berani bertindak, hanya meminta solusi saja,” ujarnya.
Shanto dikutip dari liputan6.com