Ilustrasi

Polemik pengupahan dalam pasal RUU Cipta Kerja

(SPN News) Jakarta, Substansi RUU Cipta Kerja terus menjadi sorotan publik terutama pasca pemerintah mengirimkan naskah akademik dan drafnya ke pimpinan DPR, Rabu (12/2) lalu. Berbagai kritikan dan masukan berbagai elemen masyarakat terus dialamatkan kepada pembentuk UU baik proses penyusunan maupun materi muatannya. Sebab, RUU yang diarahkan pada peningkatan kemudahan berusaha dan investasi demi perluasan lapangan pekerjaan ini menyasar banyak sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Salah satunya, RUU Cipta Kerja ini menyasar sektor ketenagakerjaan dengan tiga UU terdampak yakni UU No13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja ini dianggap menapikan kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh. Hal ini terlihat dalam pasal – pasal RUU Cipta Kerja yang cenderung lebih merugikan buruh/pekerja dibandingkan regulasi sebelumnya dalam hal ini UU No 13/2003. Salah satu pasal krusial di RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh/pekerja terkait pengupahan. Ada beberapa pasal terkait pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan yang dihapus atau diubah dalam RUU Cipta Kerja. Pasal-pasal yang dihapus, seperti Pasal 89, 90, 91, 96, 97 UU Ketenagakerjaan. Sedangkan pasal-pasal yang diubah seperti, Pasal 78, 79, 88A, 88B, 88C, 88E, 90A, 90B, 92A, 93, 94, 95, 98 UU Ketenagakerjaan.

Perubahan mendasar mengenai konsep pengupahan juga masuk dalam RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, prinsip/konsep pengupahan diarahkan untuk melindungi buruh/pekerja demi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara konsep pengupahan dalam RUU Cipta Kerja didasarkan pada kesepakatan atau peraturan perundang-undangan baik upah minimum provinsi/kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur ataupun kebijakan pengupahan nasional yang ditetapkan pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah (PP).

Baca juga:  MEMPERINGATI HARLAH SPN 45 ALA KP DPC SPN KABUPATEN SEMARANG

Aturan itu berimplikasi menghapus sebagian kewenangan Menteri Ketenagakerjaan untuk menerbitkan keputusan yang bersifat mengatur, seperti komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL); tata cara penangguhan pembayaran upah minimum; penyusunan struktur dan skala upah bagi perusahaan; seperti diatur Pasal 89 ayat (4) jo Pasal 90 ayat (3) jo Pasal 92 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

Jika melihat Pasal 93 UU Ketenagakerjaan dikenal beragam jenis upah, seperti upah minimum provinsi/kabupaten/kota dan sektoral; upah lembur; upah tidak masuk kerja karena berhalangan; upah menjalankan hak waktu istirahat kerjanya (upah cuti), dan lain-lain. Melalui beberapa jenis upah itu, pemerintah berupaya menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh guna memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dalam RUU Cipta Kerja mengenal dua jenis upah yakni upah minimum dan upah satuan waktu dan hasil (per jam). Upah minimum ini dibagi tiga jenis: upah minimum provinsi; upah minimum industri padat karya yang formulanya diatur dalam PP; dan upah minimum usaha mikro kecil menengah (UMKM) didasarkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. Sedangkan struktur dan skala upah satuan waktu (per jam) disusun oleh perusahaan (Pasal 92 RUU Cipta Kerja).

Baca juga:  THR TIDAK SESUAI, BURUH 2 PABRIK DI KABUPATEN SUKABUMI UNJUK RASA

Sedangkan upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh tanpa memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Sebab, frasa “memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi” dalam Pasal 92 UU Ketenagakerjaan dihapus melalui perubahan Pasal 92 RUU Cipta Kerja. Baca Juga: Mempertanyakan Pasal UU Terdampak dalam Omnibus Law

Terkait upah minimum ini, RUU Cipta Kerja menghapus mekanisme penetapan upah minimum oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) melalui survei KHL yang diatur Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. RUU Cipta Kerja hanya mengatur kelembagaan Dewan Pengupahan (secara terpusat), sehingga seolah menghapus keberadaan struktur Dewan Pengupahan Daerah.

Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan larangan pengusaha membayar upah lebih rendah atau di bawah upah minimum dan mekanisme penangguhan pembayaran upah minimum, termasuk menghapus sanksi denda dengan persentase tertentu dari upah pekerja, jika pengusaha terlambat membayar upah karena sengaja atau lalai.

Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja disinyalir memangkas beberapa hak upah karena cuti pekerja/buruh ketika tidak masuk kerja dalam kondisi tertentu yang dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan upahnya tetap wajib dibayar perusahaan. Namun, dalam Pasal 93 RUU Cipta Kerja, seperti pekerja yang sedang haid, melahirkan, menikah, menjalankan perintah agama, dan lainnya seolah tidak lagi dibayar upahnya.

SN 09/Editor