Sidang International Labour Conference (ILC) PBB 2025 menyaksikan polemik sengit dalam pembahasan transportasi online di Komite Platform. Deadlock berulang kali memaksa sidang berlangsung hingga larut malam, mencerminkan kompleksitas isu pekerja platform digital di seluruh dunia.
Buya Fauzi, delegasi buruh Indonesia dari SPN-KSPI, tampil sebagai peserta kunci dalam Komite Platform. Isu utama yang memicu perdebatan adalah status pekerja platform digital, seperti ojek online. Seluruh delegasi buruh dari berbagai negara sepakat untuk mengganti istilah “mitra ojek online” menjadi “Pekerja Platform Digital”. Mereka menuntut ILC 113 PBB 2025 menghasilkan Konvensi ILO, bukan sekadar rekomendasi seperti yang pengusaha usulkan.
Pemerintah dari berbagai negara menunjukkan sikap berbeda. Sebagian mendukung konvensi untuk mengatur status pekerja platform, sementara yang lain memilih menyerahkan pengaturan kepada kebijakan nasional. Awalnya, Kementerian Tenaga Kerja RI menolak konvensi dan mendorong pendekatan dialog sosial. Namun, lobi intensif dari delegasi buruh Indonesia, termasuk Buya Fauzi, berhasil mengubah sikap pemerintah. Pada voting, Kementerian Tenaga Kerja RI menyetujui bahwa ILC 113 PBB 2025 harus menghasilkan Konvensi dan Rekomendasi ILO.
Keputusan ini menjadi langkah besar untuk mengakui hak pekerja platform digital secara global. Konvensi ini akan memberikan perlindungan lebih kuat, termasuk jaminan sosial, hak upah, dan kondisi kerja yang lebih baik.
(SN-20)