(SPNEWS) Terdapat ketentuan baru mengenai pesangon yang diubah dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yaitu dalam pasal 156 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai terkait besaran pesangon yang diberikan kepada pekerja yang menjadi korban PHK. Dalam UU Ketenagakerjaan, besaran pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dapat mencapai 32 kali upah bulanan. Namun, UU Cipta Kerja menurunkan besarannya menjadi 25 kali upah; yang komponennya terdiri dari besaran 19 bulan upah yang dibayarkan oleh perusahaan dan 6 bulan melalui BPJS Ketenagakerjaan lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dengan adanya ketentuan ini, uang pesangon tidak hanya dibebankan seluruhnya kepada pengusaha, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah.

Baca juga:  KRISIS PENDAPATAN PEKERJA/BURUH

Fakta menunjukkan pasal pesangon di UU Ketenagakerjaan, dalam implementasinya hanya 7% perusahaan yang mematuhi ketentuan tersebut. Sering kali pekerja/buruh harus memperjuangkan haknya atas pesangon melalui mekanisme peradilan di pengadilan hubungan industrial. Mekanisme peradilan memakan biaya dan waktu; sehingga sering kali buruh hanya pasrah menerima berapa pun besaran pesangon yang diberikan perusahaan. Permasalahan inilah yang seharusnya mendapatkan penyelesaian dari pemerintah melalui mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang ketat kepada pelaku usaha. Tidak ada jaminan juga dengan menurunkan angka pesangon perusahaan akan makin menaatinya. Adanya sanksi pidana satu tahun sampai empat tahun serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimum Rp 400 juta bagi pengusaha yang tidak membayarkan pesangon sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam UU Cipta Kerja akan kecil artinya tanpa dibarengi dengan fungsi pengawasan dari Pemerintah. Belum lagi bagaimana mekanisme pelaporan yang harus dilakukan buruh apabila ada pengusaha yang tidak menjalankan ketentuan tersebut.

Baca juga:  BURUH KSPI TOLAK KENAIKAN HARGA BBM DI BALAI KOTA JAKARTA

SN 09/Editor