Foto Istimewa
(SPNEWS) Jakarta, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia yang memiliki kontribusi signifikan terhadap devisa negara, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi.
Namun, dibalik kesuksesan dan kontribusi tersebut, terdapat praktek-praktek seperti upah murah, ketidakpastian kesejahteraan, dan perlakuan tidak adil terhadap buruh, menjadi perhatian bersama secara serius.
Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM Sumarjono Saragih menceritakan perjalanan industri sawit masuk ke Indonesia pertama kali adalah tahun 1848 yang mulanya hanya 4 biji saja.
Kemudian, mulai dikomersilkan tahun 1911 di Aceh yang mulanya hanya 30 hektare saja.
Hal itu disampaikan dalam diskusi yang bertajuk Penjajahan Buruh di Perkebunan Sawit, Benarkah? di Matraman, Jakarta, Kamis, (31/8).
“Sampai saat ini sudah ada sekitar 16 juta hektar dan menobatkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia,” kata Sumarjono.
Dia tidak menapik adanya pekerjaan rumah yang dihadapi oleh pengusaha. Oleh karena itu, kolaborasi multi pihak yang dipimpin oleh pemerintah sangat diperlulan.
“Karena di sini ada 58 persen (kebun kelapa sawait) milik perusahaan, 42 persen adalah petani. Yang di mana, petani ini tidak semua kecil, artinya di sana ada tanggung jawab yang harus dijalankan,” lanjutnya.
Pengusaha dan buruh sawit sepakat mendukung perbaikan hak-hak pekerjaan di semua lini
Sumarjono menyebutkan pihaknya tidak menutup diri untuk mendapat masukan dari berbagai pihak agar mendapatkan solusi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang di hadapi pengusaha dan buruh di perkebunan kelapa sawit.
“Sawit tersebar di 160 Kabupaten ini masih minim pengawasan. Jadi, ada kadang-kadang kelupaan hak dan kewajiban. GAPKI sebagai organisasi pengusaha yang sifatnya sukarela,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler Parsaoran menyoroti belum adanya data buruh yang baku untuk dijadikan rujukan.
Pasalnya, versi GAPKI terdapat 16 juta buruh, Kadin sebanyak 21 juta, KBS sebanyak 20 juta buruh dan pemerintah 16,2 juta buruh.
“Kami belum bisa menemukan data yang bisa menjadi acuan, sebenarnya jumlah buru berapa orang? Karena itu, ke depannya ada acuan data yang menjadi acuan,” jelas dia.
Lebih lanjut, Hotler meengatakan masih adanya praktik kontak yang belum jelas antara pengusaha dengan buruh. Sehingga, pekerjaan yang dilakukan buruh tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Tidak ada kontrak kerja ini mengakibatkan apa yang terjadi antara pekerja dan buruh tidak bisa bertanggung,” lanjutnya.
Tak hanya itu, menurutnya, dari aspek jaminan sosial para buruh belum mendapat hak-haknya ditambah kondisi buruh lepas yang mayoritas adalah perempuan.
SN 09/Editor