Ilustrasi
Pengusaha berdalih kelangkaan minyak goreng karena alus distribusi bukan karena pasokan
(SPNEWS) Jakarta, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga menyatakan, bahwa pengusaha kelapa sawit berkeberatan dengan penetapan Domestic Market Obligation (DMO) produk minyak goreng menjadi 30 persen dari sebelumnya 20 persen.
“Kami keberatan dengan DMO di 30 persen, karena sebagaimana disampaikan bahwa pasokan dari hasil DMO sebelumnya sudah melimpah,” kata Sahat (11/3/2022).
Sahat menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah yang berhasil mengumpulkan 415.780 kilo liter minyak goreng hasil DMO dalam 22 hari.
Angka tersebut, lanjutnya, telah melebihi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri selama satu bulan yang sebesar 330.000 kilo liter, untuk itu DMO minyak goreng tidak perlu dinaikkan menjadi 30 persen.
“Dengan DMO 30 persen, membuat ada 48 persen tambahan margin yang harus dicari, dan itu tidak mudah,” ujar Sahat.
Menurutnya, kelangkaan minyak goreng di pasaran bukan soal pasokan, tapi karena adanya alur distribusi yang perlu diperbaiki.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengumumkan kebijakan wajib pasok kebutuhan dalam negeri atau DMO minyak sawit yang sebelumnya 20 persen dinakikan menjadi 30 persen dari volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.
“Semua yang akan ekspor mesti menyerahkan Domestic Market Obligation (DMO) 30 persen,” ujar Menteri perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi dalam keterangan resminya.
Dia menilai langkah ini dilakukan karena distribusi bahan baku untuk industri minyak goreng hingga saat ini masih belum normal.
“Masih terjadi banyak kekurangan. Oleh sebab itu kita ingin memastikan supaya stoknya cukup supaya industri yang menghasilkan minyak goreng dapat stok cukup agar keadaan normal ini tercapai,” kata Lutfi.
Lebih lanjut Mendag Lutfi mengatakan, kebijakan ini diberlakukan hingga keadaan kembali normal.
“Paling tidak selama 6 bulan ke depan untuk kita melihat atau me-review apakah perlu ditambah atau kita bisa meng-adjust pada saatnya, sampai normal,” katanya
Lutfi juga memaparkan sejak 14 Februari hingga 8 Maret ekspor CPO dan turunannya mencapai 2.771.294 ton dan ada 126 PE yang diterbitkan kepada 54 eksportir. Dengan demikian, kata dia, DMO yang dikumpulkan 20,7 persen berjumlah 573.890 ton.
“Total DMO terdistribusi 415.787 ton dalam bentuk minyak goreng curah dan kemasan ke pasaer. Ini melibihi perkiraan kebutuhan konsumsi sebulan yang mencapai 327.321. Ini yang saya sebut minyak melimpah,” kata dia.
Lutfi juga membeberkan ada lima produsen yang telah memproduksi minyak goreng dari hasil DMO CPO yang jumlahnya per Maret 2022 mencapai 73.890 ton atau sekitar 20,7 persen dari total ekspor CPO.
Pada periode 14 Februari-8 Maret 2022, total DMO minyak goreng yang berhasil terkumpul mencapai 573.890 ton. Sementara yang terdistribusi dalam bentuk minyak curah dan kemasan ke pasar adalah sebesar 415.787 ton.
Adapun, untuk ekspor CPO dan turunannya mencapai 2.771.294 ton dan terdapat 126 penerbitan ekspor dari 56 eksportir. Pemerintah sendiri juga sudah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.
Sesuai HET, harga jual minyak goreng curah di pasaran ditetapkan sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. HET ini sudah berlaku sejak 1 Februari 2022.
Meski Mendag Lutfi mengklaim stok minyak goreng berlebih, namun kenyataan di lapangan, minyak goreng yang dijual sesuai HET pemerintah masih sulit ditemukan, baik di pasar tradisional maupun ritel modern.
SN 09/Editor