Ilustrasi Budget

(SPNEWS) Jakarta, arti mandatory spending adalah persentase anggaran yang harus dialokasikan untuk bidang kesehatan di suatu negara. Kewajiban alokasi fiskal tersebut mengacu kepada pandangan bawah kesehatan adalah salah satu layanan dasar yang harus disediakan oleh negara untuk masyarakat umum, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Biasanya nilai dan persentase alokasi fiskalnya tak bisa diubah begitu saja, tanpa proses legislatif yang memenuhi syarat minimal konstitusional.

Bahkan secara moral, proses tersebut harus menampung sebanyak-banyaknya aspirasi terlebih dahulu sebelum mengutak-atik atau menghilangkannya mengingat fundamentalnya urusan kesehatan tersebut bagi rakyat Indonesia. Hilangnya mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru, yaitu UU No 17/2023 mengandung arti bahwa tidak ada lagi batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan.

Perubahan tersebut adalah kemunduran, karena di UU sebelumnya justru dijamin alokasi fiskal sebesar 5 persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Secara moral dan konstitusional, ketiadaan mandatory spending mencerminkan pengabaian yang telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR atas perintah UUD 1945, yang mengamanatkan negara menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Artinya, UU Kesehatan yang baru hadir dengan arsitektur fiskal yang jauh lebih buruk dibanding UU sebelumnya.

Pasalnya, mandatory spending disebutkan secara jelas dalam UU sebelumnya No 36/2009, yang mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk bidang kesehatan di luar gaji. Jadi dengan hilangnya mandatory spending, jangankan batasan minimal, kewajiban mengalokasikan sejumlah anggaran dari negara untuk sektor kesehatan ikut menguap.

Anggaran kesehatan akan bergantung kepada dinamika kepentingan yang melingkupi sektor kesehatan alias tidak ada kepastian. Pemerintah bisa saja mengalokasikan hanya 1-2 persen dari dananya untuk kesehatan demi prioritas lainnya. Atau bisa hilang alias hanya kewajiban fiskal untuk pemenuhan kebutuhan operasional dan gaji saja, jika pemerintah menganggap sektor kesehatan sudah ditangani oleh pelaku swasta, di mana pasien dianggap sebagai konsumen yang harus membayar segala rupa layanan kesehatan.

Baca juga:  ALIBI KEMNAKER TERKAIT PERMENAKER NO 5 TAHUN 2023

Situasi ini tentu sangat berisiko pada pengabaian pembiayaan kesehatan publik untuk kelompok rentan yang berujung pada terhambatnya ketersediaan akses pelayanan yang memadai serta menurunnya kuantitas dan kualitas program kesehatan untuk masyarakat secara umum.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berargumen bahwa pencantuman mandatory spending dalam UU tak akan menghasilkan program maupun hasil berkualitas dan efektif. Pencantuman ini bahkan akan memaksa penggunaan dana untuk program yang tak rasional dan relevan. Karena itu, anggaran mestinya didasarkan pada rencana induk kesehatan berbasis kerja, bukan mandatory spending. Sangat jelas bahwa argumen Menkes tersebut tak selaras dengan pandangan institusi internasional di satu sisi dan praktik kesehatan terbaik (best practice) di beberapa negara.

Laporan WHO (2010) menyebutkan bahwa capaian cakupan universal kesehatan sulit dilakukan dengan anggaran kesehatan kurang dari 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hasil riset dari Chatham House, McIntyre, Meheus, dan Røttingen juga menegaskan hal yang sama. Hasil riset mereka menyatakan bahwa pemerintah perlu menargetkan minimal 5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan.

Beberapa negara juga mencantumkan mandatory spending dalam UU mereka. UU di Korsel, Jepang, dan India masing-masing mencantumkan anggaran kesehatan minimal 5 persen, 6 persen, dan 7 persen dari total anggaran negara. Amerika saja, salah satu negara paling liberal yang kita kenal, sebagaimana juga dirujuk oleh Menkes, tetap mengalokasikan sejumlah anggaran negara untuk spending di sektor kesehatan. Perkara apakah belanjanya nanti tidak efektif atau kurang efesien, terjadi banyak masalah di dalam prosesnya, semua itu tugas seorang menteri untuk membenahi. Solusinya bukan menghilangkan mandatory spending. Jika demikian, maka gampang sekali pekerjaan seorang Menkes. Misalnya, jika menemukan anggaran yang tidak efektif, bukannya dibenahi, malah dihapus begitu saja.

Mandatory spending untuk sektor kesehatan adalah gambaran atas tanggung jawab negara dalam sektor publik. Sektor kesehatan setara dengan sektor pendidikan. Keduanya adalah masalah publik, di mana kehadiran negara secara fiskal harus dikunci secara tegas di dalam UU. Bentuk kuncian tanggung jawab itu adalah mandatory spending.

Baca juga:  PEMPROV JAWA BARAT MEMBERIKAN PELUANG BAGI PERUSAHAAN YANG AKAN MELAKUKAN PENANGGUHAN

Dengan mandatory spending, siapapun penguasanya nanti, siapapun menteri kesehatannya, apapun ideologinya, kewajiban belanja kesehatan sekian persen dari APBN harus dipenuhi. Artinya, tidak akan ada yang bisa memengaruhinya, siapapun menteri kesehatannya nanti. Karena itulah harus “mandatory” sifatnya. Jika mandatory spending dihilangkan, diganti dengan anggaran berbasis program dan outcome, bagaimana kalau menteri yang baru tidak mengajukan program semacam itu, dengan alasan tak ada kewajiban mengalokasikan anggaran di UU, sehingga tidak wajib pula pemerintah mengeluarkan program berupa tanggung jawab negara atas sektor kesehatan, terutama untuk kelas menengah ke bawah? Hal tersebut sangat berpeluang terjadi karena tidak ada “kuncian konstitusional” bagi seorang Menkes yang baru untuk mengajukan anggaran kesehatan.

Bagaimana kalau menteri selanjutnya menganggap negara tak punya kewajiban dalam alokasi anggaran kesehatan dalam jumlah tertentu, sehingga penggantinya dalam bentuk program-program juga tak diperlukan?. Tak ada yang mengetahui ideologi apa yang akan dibawa seorang menteri kesehatan kelak. Jika nanti ternyata menterinya penganut paham liberalisme akut dengan menyerahkan segala urusan kesehatan kepada pasar karena secara ideologis dianggap cara terbaik dalam mengurus sektor kesehatan, maka sang menteri pun bisa dengan bebas melakukan itu. Sudah tak ada lagi bandul konstitusional yang mewajibkan alokasi fiskal tertentu untuk sektor kesehatan di luar pembiayaan gaji. Nah, guna mandatory spending adalah untuk mengunci kewajiban negara atas tanggung jawabnya di sektor kesehatan, terlepas dari pengaruh ideologi politik penguasa dan menterinya.

Bagaimana pun, kesehatan adalah sektor publik yang memerlukan komitmen konstitusional negara, bukan hanya komitmen temporal programatik dari setiap menteri yang terangkat. Agar komitmen tersebut tidak dilanggar akibat perbedaan ideologi dan kepentingan politik dari setiap pemerintah terpilih, melalui menteri kesehatan yang dianggkat tentunya, keberadaan pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang mengunci kewajiban negara dalam jumlah tertentu terhadap sektor kesehatan sangat fundamental sifatnya.

09/Editor