Secara umum, ada tiga komponen yang membentuk harga sebuah komoditi sebelum di lempar ke pasar dan mendapatkan harga pasar. Sesuai dengan penawaran dan permintaan. Ketiga komponen itu adalah : 1. Biaya alat-alat produksi, 2. Upah buruh (dalam arti luas bukan hanya upah pokok, tetapi juga upah lembur, tunjangan, serta imbalan buruh lainnya), 3. Keuntungan pengusaha. Jika biaya alat-alat produksi dan harga konstan, maka kenaikan upah akan mengurangi keuntungan pengusaha. Sebaliknya dalam situasi serupa, pengusaha hanya biasa menaikkan keuntungannya dengan mengurangi upah buruh.

Kenaikan upah bisa tidak mengurangi keuntungan jika harga dinaikkan. Tetapi kenaikan harga akibat kenaikan upah relatif tidak akan mengurangi daya beli masyarakat, karena kenaikan harga itu diimbangi oleh kenaikan upah dan pendapatan masyarakat. Kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika kenaikan harga itu tidak dibarengi dengan kenaikan upah atau pendapatan masyarakat.

Pengusaha berinvestasi dan membuka usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk memperbesar keuntungannya pengusaha bisa mempermurah biaya alat-alat produksi, menerapkan upah murah atau menaikan harga. Namun karena ada persaingan di antara pengusaha, maka tidak mungkin dapat menaikan harga sesukanya, untuk memenangkan persaingan, setiap pengusaha harus menjual satu unit komoditi dengan harga lebih murah dari pengusaha yang lain. Tetapi untuk menjaga agar keuntungan totalnya tidak turun, pengusaha harus memproduksi dan menjual komoditi itu dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk itu harus meningkatkan produktivitas pekerjanya dengan cara meningkatkan teknologi produksinya (memodernisasi alat produksi). Dengan demikian biaya alat-alat produksi cenderung meningkat. Karena pengusaha sulit untuk mempermurah biaya alat-alat produksi dan menaikan harga, maka mempraktikkan upah murah menjadi pilihan utama dalam memperbesar keuntungan.

Baca juga:  JUMLAH PESERTA BP JAMSOSTEK BERKURANG 2,7 JUTA

Penguasaha memiliki kecenderungan menekan upah buruh semurah mungkin demi memperbesar keuntungannya. Kaum buruh/pekerja hanya bisa membendung hal ini dengan memaksa pengusaha agar tidak mempraktikkan upah murah. Namun diluar buruh dan pengusaha terdapat Negara/Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk kaum buruh/pekerja. Seharusnya, Negara/Pemerintah bersama-sama kaum buruh/pekerja memaksa pengusaha untuk tidak melaksanakan upah murah, bukan malah Negara/pemerintah mendukung praktik ini dengan mengeluarkan peraturan yang mendukungnya seperti PP NO 78 Tahun 2015.

 Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah cenderung untuk berpihak kepada pengusaha, hal ini dilakukan karena pemerintah melaksanakan pembangunan berbasis kepada investasi swasta. Pemerintah tidak terlihat membangun ekonomi kemasyarakatan, tetapi cenderung melakukan privatisasi. Hal inilah yang terjadi sehingga pemerintah lebih condong untuk mengutamakan kepentingan investor swasta dan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi pengusaha, meskipun kondisi ini bertentangan dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat termasuk kaum buruh/pekerja.

Baca juga:  PERINGATAN MAY DAY 2021 DI SIDOARJO DIISI DENGAN VAKSINASI COVID-19 UNTUK PENGURUS SP/SB

Seharusnya pemerintah dapat melepaskan diri dari ketergantungan kepada investasi swasta, maka solusi secara umum yang dapat dilakukan adalah dengan membangun ekonomi di sektor public yang kuat, dimana berbagai macam unit ekonomi berada dibawah kepemilikan Negara/Pemerintah. Dengan ekonomi sektor public yang kuat, kondisi atas ekonomi berada di tangan publik/masyarakat melalui negara bukan ditangan para penguasaha swasta. Oleh karenanya ekonomi bisa dikelola untuk mensejahterakan masyarakat bukan untuk kepentingan keuntungan kaum investor swasta.

 

Shanto dari berbagai sumber/Coed