Ilustrasi

KSPI telah melakukan judisial review terhadap UU No 11/2020 khususnya klaster ketenagakerjaan

(SPNEWS) Jakarta, seperti yang diberitakan berbagai media bahwa banyak pihak yang telah melakukan gugatan terhadap UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, salah satu diantaranya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Ada sejumlah alasan KSPI menggugat UU Cipta Kerja ini. Pertama, berlakunya kembali sistem upah murah. Menurut KSPI, hal itu terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Penggunaan frasa ‘dapat’ dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.

Hal itu ditambah dihilangkannya upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13/2003.

Kedua, karyawan kontrak seumur hidup. Menurutnya UU No 11/2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13/2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan. Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWT (karyawan tetap). Hal ini berarti tidak ada job security atau kepastian bekerja. Padahal dalam UU No 13/2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.

Baca juga:  MEMPERKUAT SPN NTB DENGAN KONSOLIDASI TERARAH DAN TERSISTEM

Ketiga, outsourcing seumur hidup. Dia menjelaskan UU No 11/2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU No 13/2003. Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.

Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing. Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjualbelikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern).

Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Karena dalam praktik, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjanya.

Keempat, nilai pesangon dikurangi. UU No 11/2020 mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).Hal ini dianggap merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN.

Baca juga:  UMK KOTA BOGOR DIUSULKAN NAIK 10% DISEPAKATI HANYA 8,71%

Bandingkan dengan Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23%. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7%. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik.

Hal lainnya yang disoroti buruh dari UU No 11/2020 adalah PHK menjadi mudah dengan hilangnya frasa ‘batal demi hukum’ terhadap PHK yang belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Lalu, TKA buruh kasar cenderung akan mudah masuk ke Indonesia karena kewajiban memiliki izin tertulis menteri diubah menjadi kewajiban memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang sifatnya pengesahan. Serta, cuti panjang berpotensi hilang karena menggunakan frasa ‘dapat’ dan jam kerja dalam penjelasan UU No 11/2020 memberi peluang ketidakjelasan batas waktu kerja.

SN 09/Editor