Upah minimum dimaksudkan adalah sebagai perlindungan bagi pekerja/buruh melalui penetapan UMP, UMSP, UMK, UMSK dengan Surat Keputusan Gubernur, supaya pengusaha tidak sewenang-wenang kepada para pekerja dalam memberikan upah. Maka diadakanlah batas terendah upah pekerja melalui peraturan perundang-undangan.
Menurut pasal 89 UU No 13 Tahun 2003 terdapat empat upah minimum yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektor Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektor Kota/Kabupaten (UMSK) yang ditinjau setahun sekali berbasis riset Dewan Pengupahan. Terkait sebagai pedoman untuk menetapkan angka tinjauan sebagai koreksi atas kondisi nilai kecukupannya untuk menghidupi pekerja lajang hidup selama satu bulan. Adapun basis riset Dewan Pengupahan dilakukan sesuai Peraturan Menteri yang ada dengan ukuran papan, sandang, pangan untuk memastikan nilai kecukupan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja buruh lajang pada setiap bulannya dengan mempertimbangkan nilai Produktivitas (PDRB) dan pertumbuhan ekonomi serta inflasi setempat sebagai dasar pertimbangan penetapannya melalui rekomendasi Walikota/Bupati.
SK Gubernur sebagai pijakan awal dari teori perlindungan mestinya cukup menjelaskan besaran angka UMP, UMSP, UMK, UMSK serta menjelaskan berlakunya kepada siapa dengan objek yang tegas dan jelas serta sanksi bagi yang melanggarnya. Sehingga Surat Keputusan Gubernur sebagai mandat amanat Undang-Undang cukup tegas dan jelas menjamin, melindungi pekerja/buruh yang dimaksudkan yaitu berlaku untuk pekerja/buruh dibawah satu tahun lajang sekurang-kurangnya diupah sesuai SK Gubernur tentang Ketentuan Upah Minimum. Pada amar keputusannnya Surat Keputusan Gubernut tidak menjelaskan untuk siapa dan dimana Ketentuan Upah Minimum tersebut diberlakukan dan konsekuensi bagi yang tidak taat apa sanksinya.
Pada SK Gubernur memuat filosofi dalam konsiderannya terhadap Produktivitas dan Kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, hal ini bertentangan dengan filosofi uaph minimum sebagai jaring pengaman perlindungan upah buruh terendah yang tidak dikaitkan dengan kondisi keterampilan, produktifits maupun kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya. Sebab basis risetnya hanya mengukur hidup pekerja lajang masa kerja dibawah satu tahun untuk hidup satu bulan atau 30 hari saja.
SK Gubernur telah mengingkari Konstitusi dimana amanatnya adalah bahwa upah minimum sebagai perlindungan batas bawah upah pekerja/buruh supaya tidak tertindas oleh pengusaha yang sewenang-wenang, maka sifat SK Gubernur itu bersifat Bisiking Bestur Regiling yang memiliki sifat Represif mengatur, melindungi dengan ancaman sanksi sesuai amanat pasal 90 jo 185 UUK dipidana 1 sampai dengan 4 tahun, denda 100 juta sampai dengan 400 juta rupiah dapat terealisasi dan mudah diaplikasikan jika ada yang melanggar Ketentuan Upah Minimum UMP, UMSP, UMK dan UMSK dengan berpijak kepada SK Gubernur tentang Upah Minimum.
Jadi jelas bahwa seharusnya tidak ada lagi Upah yang lain selain 4 Upah diatas, apakah itu Upah padat karya, Upah khusus dll. Regulasi jelas mengatakan bahwa pengusaha dapat mengajukan penangguhan upah jikalau memang memenuhi syarat untuk melakukan penangguhan. Regulasi ini sudah tegas mengatur tentang pelaksanaan dari mekanisme pengupahan oleh karena itu sudah seharusnya semua pihak menghormati aturan ini sehingga tidak ada lagi malpraktek dalam pelaksanaan sistem pengupahan.
Tidak ada alasan bagi pengusaha dan siapapun yang terlibat dalam penentuan dan pelaksanaan Upah ini melakukan sesuatu hal diluar koridor regulasi yang berlaku. Sudah seharusnya sistem Ketenagakerjaan di Indonesia dilaksanakan secara transparan, tegas dan berkeadilan demi terciptanya iklim perindustrian yang baik seperti yang selama ini didengungkan dalam Hubungan Industrial Pancasila.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed