Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Sebuah laporan terkait hak asasi manusia, menyebutkan negara G20 atau negara ekonomi besar dunia memicu kerja paksa dan menyumbang lebih dari separuh dari sekitar 50 juta orang yang hidup dalam perbudakan modern. Studi itu menurut sebuah laporan yang dirilis pada (25/5/2023).

Laporan dari lembaga Walk Free, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berfokus pada perbudakan modern, mengatakan enam anggota Kelompok 20 negara atau G20 memiliki jumlah terbesar orang yang berada dalam perbudakan modern.

India berada di urutan teratas dengan 11 juta orang, diikuti China dengan 5,8 juta orang, Rusia dengan 1,9 juta orang, Indonesia dengan 1,8 juta orang, Turki dengan 1,3 juta orang dan Amerika Serikat dengan 1,1 juta orang.

Baca juga:  MEMAHAMI BERACARA DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

“Sebagian besar negara dengan prevalensi perbudakan modern terendah – Swiss, Norwegia, Jerman, Belanda, Swedia, Denmark, Belgia, Irlandia, Jepang, dan Finlandia – juga merupakan anggota G20,” kata laporan tersebut.

“Namun, bahkan di negara-negara ini, ribuan orang terus dipaksa untuk bekerja atau menikah, meskipun mereka memiliki tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi, kesetaraan gender, kesejahteraan sosial, dan stabilitas politik, serta sistem peradilan pidana yang kuat.”

September lalu, sebuah laporan dari Organisasi Perburuhan Internasional PBB (ILO) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Walk Free memperkirakan 50 juta orang hidup dalam “perbudakan modern”, 28 juta orang dalam kerja paksa, dan 22 juta orang dalam pernikahan paksa pada akhir 2021. Angka tersebut meningkat 10 juta orang hanya dalam waktu lima tahun sejak akhir 2016.

Baca juga:  KEMNAKER MASIH MENUNGGU DATA BPS

“Perbudakan modern merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan masyarakat kita,” kata Direktur Pendiri Walk Free, Grace Forrest, dalam sebuah pernyataan.

“Hal itu terjalin melalui pakaian kita, menerangi peralatan elektronik kita, dan membumbui makanan kita dan merupakan cermin yang dipegang oleh kekuasaan, yang merefleksikan siapa yang memilikinya dan siapa yang tidak,” kata dia.

Hal ini paling jelas terlihat dalam rantai pasokan global, di mana negara-negara G20 mengimpor produk senilai 468 juta dolar AS per tahun yang dianggap “berisiko” diproduksi tenaga kerja paksa, termasuk elektronik, garmen, minyak kelapa sawit, panel surya, dan tekstil, demikian laporan tersebut mengatakan.

SN 09/Editor