Kematian, Kecelakaan Kerja, Pemberangusan Serikat, Kriminalisasi: Nasib Pekerja Indonesia dan Tiongkok di Industri Smelter Nikel PT GNI

Ditulis oleh

Permata Adinda

Para pekerja menghadapi kematian, bunuh diri, kecelakaan, sesak napas, putus kontrak dan potong upah di industri nikel Morowali yang dibanggakan pemerintahan Jokowi. Protes dan amarah pekerja dibalas pemenjaraan.

MELIHAT ANAK KEDUANYA berumur 23 tahun di balik jeruji, dipisahkan sebuah bilik kecil, Mulyati tak kuasa menahan tangis. Kunjungan kali ini membuat ibu dan anak itu tak bisa bersentuhan. Mereka juga mesti mengeraskan suara satu sama lain.

Hari itu Kantor Polres Morowali Utara mati lampu sehingga tidak bisa menyalakan mesin printer untuk mencetak surat izin. “Tunggu ya, Bu. Belum nyala-nyala lampunya,” kata seorang polisi kepada Mulyati.

Saat itu sudah hampir jam 10.00 waktu setempat. Jika menunggu lebih lama, Mulyati khawatir tak berkesempatan menjenguk Jumardin. Semakin siang biasanya antrean besuk semakin ramai.

“Daripada menunggu lama,” kata Mulyati yang biasanya bertemu anaknya di luar sel tahanan.

Di sel tahanan, tangan Umar, panggilan Jumardin, memegang jeruji. Ia terdiam menatap ibunya yang berumur 40 tahun itu menangis.

“Jangan sampai bulan puasa di sini,” kata Umar saat ditanya apa saja kegiatannya di sel tahanan.

Mulyati bercerita hampir tak bisa membesuk. Waktu tempuh ke kantor polisi dari rumahnya sekitar 30 menit. Biasanya ia dibonceng adik perempuan Umar, pakai motor pinjaman bapak kepala desa. Tetapi hari itu ban motor bocor. Mereka mesti mencari tumpangan lain.

Mulyati membawa beberapa rantang makan untuk Umar dan teman-temannya di sel tahanan. Umar sering berpesan ingin dibawakan nasi. Porsi nasi di sel tahanan tidak banyak dan lauknya pas-pasan. “Dia bilang makanan di sana tidak—,” Mulyati tergugu. “Cuma kasih di mulut saja. Dia selalu minta nasi. Nasi tok!”

Tepat 12 menit setelah nama Jumardin dipanggil, seorang polisi menghampiri Mulyati dan mengabarkan waktu kunjungan habis.

Mulyati mengambil waktu berpamitan. Ia berpesan agar Umar baik-baik di sel.

“Semoga bisa keluar bulan puasa. Minta keluar, toh. Siapa tahu sudah bisa,” kata Mulyati. Umar mengangguk.

JUMARDIN — Pekerja Divisi Smelter

Pada 14 Januari 2023, Jumardin pamit pergi bekerja shift malam menuju PT Gunbuster Nickel Industry. Sejak itu, ia tak pernah pulang.

Umar biasanya sudah kembali ke rumah jam 9 pagi keesokannya. Ia pun pasti berkabar jika tidak pulang cepat atau bermalam di tempat temannya. Namun, hingga pukul 11 pagi esok hari, Umar tak kunjung berkabar.

Mulyati gelisah. Ia meminta adik Umar menelepon kakaknya, tapi tak berbalas.

Menjelang siang, seorang saudara datang ke rumah dan memberi kabar. Umar, tulang punggung ekonomi keluarga itu, berada di kantor polisi. Mulyati pingsan.

Umar, kelahiran 2000, adalah anak satu-satunya dari empat saudara yang lulus SMK. Ketiga saudaranya mentok lulus SMP. Keluarganya berkata Umar adalah anak paling tekun dan pintar. Mereka menyematkan harapan kepada Umar.

Keluarga ini tinggal di Kampung Onepute, Petasia Barat. Bapak Umar, umur 60 tahun, sudah sakit-sakitan. Dulu si bapak bekerja ojek motor, bolak-balik ke Kolonodale, pusat pemerintahan Morowali Utara, 13 km dari kampung. Semakin ke sini semakin tak sanggup bekerja. Kesehatannya memburuk. Punggungnya kerap sakit.

Umar yang menggantikan. Anak ini mengerjakan apa saja yang ia bisa kerjakan setelah lulus SMK. Ia membantu menghidupi kedua orangtuanya, ketiga saudaranya, dan satu keponakannya.

Tiga tahun setelah bekerja serabutan, Umar mendapatkan informasi lowongan kerja di PT Gunbuster Nickel Industry. Banyak pemuda di kampungnya yang mendaftar. Umar ikutan. Ia diterima di bagian smelter. Gajinya Rp3.150.000/bulan, plus uang makan dan uang lembur.

Kini, tanpa penghasilan dari Umar, keluarga ini pontang-panting memenuhi kebutuhan harian.

Kadang ada tetangga bersimpati dan mengirim makanan. Sesekali Mulyati mencuci baju atau memasak untuk keluarga lain, yang upahnya Rp20-25 ribu.

Sejak Umar ditahan, ada dua cicilan yang macet. Cicilan motor dan cicilan handphone. Cicilan motor Rp2,2 juta/bulan. Cicilan ponsel Rp500 ribu/bulan. Umar mencicil keduanya demi kemudahan bekerja.

April lalu, keluarga Umar kehabisan cara membayar kedua kredit tersebut. Cicilan motor bisa jadi dioper ke orang lain. Ponsel hendak dikembalikan. Masalahnya, ponsel Umar masih disita polisi. Polisi beralasan ponselnya masih dijadikan “barang bukti”. Sementara konter ponsel terus menagih agar keluarganya segera membayar cicilan atau mengembalikan ponsel tersebut.

“Saya sudah menelepon penyidik,” kata Yulan, kakak perempuan Umar. “Penyidik bilang handphone bakal dikasih kembali. Tapi, katanya, di dalam HP itu masih ada yang mau dianalisis lagi. Kalau memang ada data-data yang mau diambil, ambil. Tapi HP tolong kasih kembali.”

Keluarga Umar adalah satu-satunya yang rutin bolak-balik menjenguk ke Kantor Polres Morowali Utara, tempat para pekerja smelter nikel ditahan. Keluarga ini sebenarnya keturunan Bugis, tapi sudah lama menetap di Morowali Utara, bahkan fasih berbahasa Mori, bahasa suku asli Morowali Utara, sehingga mereka lebih nyaman disebut suku asli Mori.

Para tahanan lain, sementara itu, adalah pendatang. Kebanyakan dari Sulawesi Selatan; dari Palopo, Pinrang, sampai Makassar. Keluarga-keluarga mereka tak sanggup bolak-balik ke Morowali Utara; yang makan uang, tenaga, dan waktu.

Mulyati dan anak perempuannya pernah mengajak Bilal, anak Yulan umur 5 tahun, untuk menjenguk Umar. Umar biasa mengajak keponakannya itu bermain dan suka iseng mengganggunya. Jika Umar pulang kerja tengah malam, ia akan membangunkan Bilal. Bilal rindu Umar. Suka bertanya-tanya ke ibunya kapan si paman pulang.

“Saat Bilal menjenguk, Umar tidak mau keponakannya itu lihat dia. Minta supaya dibawa keluar. Umar tidak mampu lihat,” cerita Yulan. “Sementara Bilal sudah lama cari pamannya karena tidak pernah pulang-pulang.”

“Kalau saya … kalau saya bukan tidak bisa jenguk Umar. Cuma …. hati ini belum mau. Masih sakit,” kata Yulan.

Bilal duduk di sebelah ibunya. Ia baru pulang mengaji.

“Di mana paman?”

“Di penjara.”

HARI-HARI SELAMA Umar di sel tahanan polisi adalah ketidakpastian. Keluarganya menanti-nanti jawaban. Sampai kapan anak mereka mendekam di kantor polisi? Kapan Umar pulang? Kapan Umar bisa dibebaskan?

Awalnya, keluarga diberitahu Umar hanya ditahan selama 1-2 hari. “Dikasih kabar itu diamankan saja,” kata Mulyati.

Tetapi, setelah dua malam, kabar datang dari Jakarta. Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengumumkan ada 17 orang yang ditetapkan tersangka. Umar salah satunya. Malam itu, para pekerja dipindahkan ke sel tahanan dalam Polres Morowali Utara.

Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah, Didik Supranoto, berkata penyidik menjerat 16 tersangka dengan pasal pengeroyokan, dengan ancaman penjara 5 tahun. Satu pekerja lain dijerat pasal pembakaran, dengan ancaman penjara 12 tahun.

Tetapi, keluarga Umar tidak paham dan tidak mengetahui informasi itu. Ketika kami menemui keluarga Umar, Maret 2023, mereka hanya ingin kepastian kapan Umar dapat dibebaskan dari sel tahanan.

Dalam pekerjaan, Umar bukan anak gampang mengeluh. Ia jarang bercerita tentang situasi kerjanya kepada keluarga. Sebelum punya sepeda motor, Umar biasa menumpang teman-teman sesama pekerja pergi dan pulang ke PT Gunbuster Nickel Industry (GNI). Jarak Desa Onepute ke pintu masuk PT GNI sekitar 27 km, atau 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.

“Kadang teman yang ditumpangi tidak pergi, dia juga terhalang. Jadi, bapaknya bilang, ‘Beli saja motor. Kan, kau sendiri yang mencari. Bisa ongkos sendiri,’” cerita Yulan.

Umar hanya pernah bercerita sedikit bahwa bekerja di bagian smelter kerap tidak aman. Sebab, tidak dilengkapi alat pelindung diri yang mumpuni. Ketika hari pertama masuk kerja, Umar tidak dibekali apa-apa selain helm. Ia baru mendapatkan sepatu safety beberapa bulan setelah bekerja.

AKSI MOGOK

Para pekerja biasa menyebut gerbang utama PT Gunbuster Nickel Industry sebagai Pos IV. Di depan gerbang inilah Serikat Pekerja Nasional menggelar mogok kerja hingga pukul 17.00, pada 14 Januari 2023.

Tak cuma diikuti anggota serikat, aksi itu diramaikan para pekerja non-serikat. Bahkan, meski aksi itu resminya sudah bubar, beberapa pekerja yang shift malam kemudian melanjutkan protes di malam hari.

SPN menyampaikan delapan tuntutan:

Perusahaan wajib menerapkan prosedur K3 sesuai perundangan berlaku.

Perusahaan wajib menyediakan APD lengkap kepada pekerja sesuai standarisasi jenis pekerjaannya atau risiko kerja di lokasi kerja.

Perusahaan segera membuat peraturan perusahaan.

Stop pemotongan upah yang bersifat tidak jelas.

Stop PKWT [perjanjian kerja waktu tertentu] untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Perusahaan mempekerjakan kembali karyawan (anggota SPN) yang di-end kontrak sebagai akibat dari mogok kerja sebelumnya.

Perusahaan memasang sirkulasi udara di setiap gudang atau smelter agar tidak berdebu.

Perusahaan memperjelas hak-hak yang telah diberikan kepada keluarga almarhum Made dan Nirwana Selle sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Tuntutan kedelapan merujuk pekerja bernama I Made Defri Hari Jonathan dan Nirwana Selle. Mereka terjebak di hoist crane saat terjadi ledakan di salah satu tungku smelter, akhir Desember 2022. Nirwana Selle sedang live di TikTok saat kecelakaan itu menewaskannya. Video itu menyebar luas di media sosial.

Menurut Amirullah, Ketua SPN di PT GNI, sejak kematian dua pekerja itu, aksi protes buruh semakin intens, dan aksi mogok 14 Januari itu rangkaian protes buruh sejak 2022, terutama dari divisi smelter dan dump truck, menuntut perusahaan memperbaiki kondisi kerja dan pengupahan. Gelombang protes ini terkadang digalang SPN, terkadang juga digerakkan secara spontan oleh sesama pekerja,

“Setelah kematian Nirwana,” tambah Amirullah, “teman-teman menanyakan kapan SPN aksi.”

Minggu Bulu, pengurus SPN di PT GNI sekaligus koordinator aksi saat itu, berkata orasinya seputar delapan tuntutan tersebut. “Saya jelaskan kita kerja setidaknya keselamatan diutamakan. Jangan asal kerja saja.”

Setelah aksi bubar, seorang pekerja mengabarkan kepada para pengurus SPN bahwa dua kawannya “diamankan” ke Polres Morowali Utara. Mereka pun bersiap-siap menuju Polres sambil menunggu hujan reda. Mereka tiba di Polres pukul 20.00.

Menjelang pukul 23.00, mereka meninggalkan Polres, lalu pulang ke rumah masing-masing.

Cuma, kata Amirullah, “saya dapat informasi ada kacau di kawasan PT GNI.”

Minggu Bulu tidak tahu pasti apa yang terjadi di dalam kawasan selama berorasi di depan Pos IV. Tapi, ia mendengar informasi bahwa situasi di dalam kawasan “memanas”.

“Kalau kejadian di dalam (kawasan industri) sebenarnya kami kurang tahu. Cuma teman-teman pekerja bilang TKA (tenaga kerja asing) menyerang di dalam smelter. Teman-teman itu mau ke Pos IV. Ada yang mau ikut mogok, tapi dihalang-halangi,” kata Minggu Bulu.

Pada 14 Januari itu, Jumardin hampir tidak masuk kerja. Ibunya tahu pada pagi hari sudah ada aksi mogok. Ia menyarankan anaknya absen kerja di malam hari.

Tetapi, sekitar pukul 22.00, rekan-rekan kerjanya menelepon Umar. Ada selentingan kabar sejumlah pekerja Tiongkok “menganiaya” pekerja-pekerja Indonesia yang melakukan aksi mogok.

Mereka meminta Umar tetap masuk kerja dan tidak berpangku tangan. Posisi Umar di divisinya adalah wakil pengawas, sementara ketua pengawasnya sedang cuti pulang kampung. Mereka membutuhkan kehadiran Umar sebagai penanggung jawab.

“Masak kau pulang? Kau itu wakil pengawas,” kata Yulan mengulang cerita rekan kerja Umar.

Umar pergi ke PT GNI pukul 22.00. Sampai di Pos IV, motornya dilarang masuk. Ia memarkir sepeda motor di Pos IV, lalu masuk ke dalam.

“Motornya saja tidak dikunci setir. Tergeletak di jalan,” kata Yulan.

Bentrok terjadi pukul 23.00. Pukul 1 pagi, Umar keluar menuju Pos IV. Ia ditangkap pihak kepolisian bersama 71 orang lain. Sumber lain menyebut lebih dari 80 pekerja ditangkap.

“Waktu ditanya sama penyidik, Umar bilang cuma lempar mes (pekerja) China. Lempar sekali dua kali pakai batu,” cerita Yulan. “Dorang itu anak pemalu. Pendiam. Pokoknya kalau diajak bicara, baru bicara. Kalau tidak, bilang tidak.”

Sebuah video menunjukkan rombongan pekerja berjalan di dalam kawasan industri dan berteriak, “Basmikan Cina. Basmikan Cina!”

Amarah rasialis ini diduga dipicu kejadian penyerangan oleh pekerja Tiongkok pada siang hari saat para pekerja Indonesia melakukan aksi mogok. Para pekerja Tiongkok dibekali pipa besi. Mereka menghampiri dan memukul pekerja lokal. Ada pula perusakan dan pembakaran kendaraan, yang memicu saling lempar batu sebelum aparat keamanan melerai.

Berdasarkan rilis China Labor Watch pada 18 Januari, manajemen PT GNI menugaskan pekerja Tiongkok menghentikan aksi protes. “Sebagai respons atas aksi mogok kerja, manajemen PT GNI memanfaatkan pekerja Tiongkok untuk menghentikan aksi mogok, memblokade gedung pabrik, dan melindungi properti perusahaan,” tulis organisasi pemantau buruh Tiongkok berbasis di New York ini.

“Alih-alih meredakan situasi, PT GNI membuat pekerja Tiongkok melawan pekerja Indonesia, menciptakan narasi ‘kami’ Tionghoa vs. ‘mereka’ Indonesia. Banyak pekerja Tiongkok khawatir akan menjadi korban sentimen anti-China di Indonesia. Beberapa pekerja ditugaskan di garis depan dan dibagikan helm serta pipa besi oleh manajemen untuk membela diri dan perusahaan.”

Selain itu, terkendala bahasa, para pekerja Tiongkok tidak mendapatkan pemahaman tentang tuntutan-tuntutan pekerja Indonesia. Dari percakapan China Labor Watch dengan para pekerja Tiongkok di PT GNI, mereka menyadari tuntutan-tuntutan SPN juga relevan dengan situasi kerja mereka, terutama soal keselamatan kerja.

Tetapi, para pekerja Tiongkok awalnya tidak memahami itu. Sebaliknya, banyak yang menganggap aksi demo adalah seputar masalah kenaikan upah di kalangan pekerja Indonesia belaka, ujar China Labor Watch.

Pekerja Tiongkok juga punya kepentingan untuk mendukung aksi protes saat itu. China Labor Watch melaporkan banyak pekerja Tiongkok menjadi korban malpraktik PT GNI, termasuk tunggakan dan pemotongan gaji, pemotongan gaji semena-mena, perekrutan tidak transparan, lembur panjang, penganiayaan fisik, pelecehan seksual, penahanan paspor, hingga pembatasan gerak pekerja Tiongkok.

Kepolisian menyebut bentrok Sabtu malam itu menyebabkan dua orang meninggal, satu pekerja lokal, satu pekerja Tiongkok. Tetapi, selain keterangan dari polisi, tidak banyak yang tahu pasti penyebab kedua orang meninggal. Keterangan ini berasal dari Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah saat itu, Kombes Didik Supranoto. (Didik telah dimutasi dan diganti Kombes Djoko Wienarto. Didik sempat meralat pernyataannya yang menyebut ada tiga korban tewas; dua pekerja lokal, satu pekerja Tiongkok.)

Serikat Pekerja Nasional tidak dapat mengonfirmasi identitas kedua pekerja yang tewas saat bentrok. SPN telah meminta pihak kepolisian membuka identitas orang yang meninggal plus penyebab kematian. Tetapi, kepolisian tidak merespons.

Usai peristiwa “bentrok“, tuntutan utama buruh PT GNI, salah satunya keselamatan kerja, menguap begitu saja. Di media massa, informasi yang dominan menjadi perkara “konflik horizontal” berbalut rasial antara pekerja Indonesia dan pekerja Tiongkok.

MINGGU BULU — Pekerja Divisi Dump Truck

Sejak peristiwa “bentrok” antara pekerja Indonesia dan pekerja Tiongkok, serta penahanan belasan pekerja, Minggu Bulu tak pernah tidur pulas. Ia dicari-cari polisi. Semula diminta keterangan sebagai saksi. Kemudian, pada April 2023, ia ditetapkan tersangka. Bersama Amirullah, Minggu Bulu dijerat pasal penghasutan, dengan ancaman 5-6 tahun penjara.

Kuasa hukumnya, dari Koalisi Bantuan Hukum Rakyat, mencurigai Kepolisian Indonesia ingin mengaitkan aksi mogok serikat pada siang hari dengan kejadian kekerasan antar-pekerja di dalam kawasan industri PT GNI pada malam hari.

“Delapan tuntutan dalam aksi mogok adalah hak-hak normatif yang dijamin undang-undang,” kata Hasbi dari Koalisi.

Umur 33 tahun, Minggu Bulu harus menafkahi istri dan keempat anaknya. Setelah dua tahun menganggur akibat pandemi COVID-19, pria Toraja dari Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ini melamar kerja sebagai sopir dump truck di PT GNI. Jarak jalan darat dari kampungnya ke lokasi perusahaan sejauh 270 km. Ia memilih merantau sebab minim lapangan pekerjaan di tempat tinggalnya, kecuali bertani sebagaimana pekerjaan orangtuanya.

Minggu Bulu berpikir, dengan gaji bulanan, setidaknya ia bisa mengamankan pendapatan keluarga yang stabil. Tetapi, setelah bekerja di PT GNI selama 20 bulan, jalan pikirnya berubah. Bekerja di PT GNI rupanya adalah pekerjaan yang dekat dengan celaka.

Berseliweran dalam grup-grup WhatsApp pekerja PT GNI, ada saja informasi tentang pekerja-pekerja yang meninggal atau mengalami kecelakaan. Maret lalu, seorang pekerja Tiongkok tewas terjatuh dari lantai yang tinggi. Sebelumnya, seorang pekerja Indonesia mati terjepit konveyor. Ada saja kabar tabrakan di dalam kawasan. Dua dump truck tak sengaja menubruk dan mengakibatkan lutut salah satu pengemudi hancur. Dalam kasus lain, pengendara motor tersenggol hingga terlindas truk jungkit. Ada yang selamat. Ada yang tewas karena tubuhnya terlindas ban.

“Pernah dalam satu hari ada tiga kasus kecelakaan,” kisah Minggu Bulu.

Meski begitu, kasus-kasus semacam itu tak pernah disampaikan manajemen perusahaan secara transparan kepada para pekerja, ujar Minggu Bulu. “Kadang malah kami yang disalahkan. Kadang dianggap kelalaian.”

Minggu Bulu pernah mengalaminya. Suatu hari, saat baru masuk kerja, ia mengemudikan dump truck dan tidak sengaja menabrak sepeda motor yang parkir persis di belakang truk. “Saya mundur, kena, hancur motornya.”

Imbas kejadian itu, Minggu Bulu meminta pertanggungjawaban ke bagian keselamatan perusahaan. Tapi, ia diminta pergi ke bagian manajemen pekerja, lalu disuruh mengganti rugi setengah harga motor. Pihak HRD beralasan kedua pihak menanggung kesalahan: pekerja dianggap keliru memarkir motornya di dalam kawasan, Minggu Bulu dianggap tidak sengaja menabrak.

Diminta begitu, Minggu Bulu bingung, “Kalau 50:50 berarti personal ke personal. Tanggung jawab perusahaan bagaimana? Kalau menurut aturan, kendaraan roda dua nggak boleh ada di kawasan.”

Minggu Bulu tetap diminta bayar ganti rugi. Ia terpaksa mematuhinya. Ia hanya bersyukur tidak ada korban jiwa saat itu.

Dalam kesimpulan Minggu Bulu, bekerja di PT GNI, selain risiko kecelakaan, adalah “kita menghadapi atasan semena-mena dan peraturan perusahaan yang berubah-ubah.” Dan, terakhir, ia dipecat karena menjadi pengurus Serikat Pekerja Nasional. Pilihannya untuk kembali ke kampung halaman adalah sesederhana ingin jadi manusia merdeka: tak ada yang mengatur-atur dirinya ketika ia kembali mengolah kebun orangtuanya.

Namun, setelah peristiwa 14 Januari, pilihan itu pun menjauh dari tangannya. Nasibnya kini diringkus negara.

Gerak-geriknya diawasi saat statusnya masih saksi. Polisi mendatangi kosnya di daerah Tompira, Petasia Timur. Sewaktu menghadiri forum diskusi bersama sejumlah serikat buruh di Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, tiga polisi menjemputnya dan membawanya kembali ke Morowali Utara, menempuh perjalanan darat selama 8 jam.

Sewaktu di Jakarta untuk menghadiri audiensi antara Serikat Pekerja Nasional dan PT GNI, yang dimediasi Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor, dua polisi dari Morowali Utara menghampiri dan merangkul Minggu Bulu, lalu menyerahkan surat panggilan kedua.

Baca juga:  TRAINING OF TRAINERS ON WELL-INFORMED COLLECTIVE BERGAINING

Pengalaman itu bikin mentalnya goyang. “Pas mereka mengantar surat ke Jakarta, saya bingung. Saya statusnya (saat itu) cuma saksi, kok orang Polres sampai mengejar ke Jakarta begini?”

PEMBERANGUSAN SERIKAT PEKERJA

POS IV PT GNI adalah gerbang kawasan industri yang ramai. Sore itu, menjelang pukul 17.00, kendaraan motor para pekerja hilir mudik. Pergantian shift sedang berlangsung.

Beberapa pekerja singgah sebentar di warung-warung yang berderet sepanjang jalan di luar kawasan industri. Sebuah bengkel motor melayani antrean motor untuk cuci atau perbaikan. Beberapa pekerja memakai helm kuning dan atasan seragam PT GNI berwarna kelabu-kecoklatan. Beberapa yang lain memakai atasan apa saja, termasuk seragam perusahaan lain. Bawahan mereka beragam; ada yang memakai celana satu setel dengan atasan PT GNI, ada juga pakai celana jin atau celana bahan biasa.

Toko-toko baju seragam perusahaan berjajar. Di sebuah toko, harga atasan tanpa celana dipatok Rp200 ribu. Seragam itu diambil langsung penjual dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu kawasan industri nikel lain di Morowali, 164 km dari PT GNI di sepanjang pesisir Sulawesi Tengah.

“Ini sudah paling murah,” kata si penjual, “bajunya saja. Kalau di sini mau pakai celana jin boleh. Celana apa saja boleh.” Ia juga menjual helm dari IMIP. Menurutnya, barang dari IMIP jauh lebih kokoh dibandingkan helm bawaan dari PT GNI. “Helm IMIP Rp300 ribu. Barang baru.”

Hikmah, seorang pekerja PT GNI, baru saja pulang bekerja. Pukul 19.00, ia pergi ke sebuah kedai kopi di Desa Bunta. Singgah sebentar sebelum kembali ke kosnya di Kolonodale. Ia mengajak seorang pemuda usia 20-an tahun.

“Ini tetangga. Dia mau kerja. Saya training di dalam,” kata Hikmah, yang bekerja sebagai sopir truk jungkit. Pelatihan itu maksudnya Hikmah mendampingi dan mengajarkan tetangganya mengendarai truk. Ini praktik umum di PT GNI, katanya.

“Yang penting siap mental saja di sini,” pesan Hikmah, bukan nama sebenarnya demi alasan keamanan.

Hikmah sedang tak enak badan. Bicaranya kerap terpotong. Batuk-batuk. Ia berencana izin absen kerja supaya bisa pergi ke klinik kesehatan. Penyakit tenggorokan dan pernapasan paling sering menyerang para pekerja. “Mungkin karena debu,” katanya. “Apalagi saya yang pekerjaannya banyak (terpapar) batubara.”

Di dalam kawasan, smelter nikel menyemburkan polusi udara. Debu tebal. Jarak pandang terbatas 3 meter. Situasi semakin memburuk bila musim kemarau. “Debu, panas, nggak tertahankan,” ujarnya. Sebaliknya saat musim hujan, jalan berlumpur dan banjir. Di dalam kawasan, kendaraan motor beriringan kendaraan pengangkut muatan seperti dump truck sehingga para pekerja terpapar langsung debu jalan.

Masker medis yang dipakai Hikmah saat bertemu kami adalah masker yang sama dipakai untuk bekerja. Ia membeli sendiri masker itu. Perusahaan tidak secara rutin menyuplai masker kepada para pekerja. “Dulu dikasih. Tapi ini sudah sekitar empat bulan nggak dikasih.”

Hikmah berkata pekerjaannya termasuk beruntung. Sopir truk bekerja dalam ruang kendaraan berpendingin udara. Sebaliknya, para pekerja divisi smelter dan gudang terpapar langsung debu ore. “Debu ore itu isap sekali saja, kering leher. Kan, panas, toh. Namanya besi. Nikel,” ceritanya. “Besi yang dikasih panas, debunya terbang-terbang. Itu biasa kami hirup. Kena mata. Sehari-hari.”

Hikmah kerap mendengar keluhan pekerja divisi smelter yang tidak disediakan masker khusus untuk bekerja, sementara debu dalam ruangan begitu tebal hingga jarak pandang terbatas.

“Yang di smelter itu mereka pakai masker standar. Dulu ada teman pakai masker full-face, tapi saya lihat lebih banyak yang nggak pakai,” kata Hikmah. “Di dalam gudang ore itu, orang kerja di dalam ruangan tertutup, penuh debu, ada alat berat, orang nggak kelihatan. Dulu nggak dibikinkan ventilasi untuk sirkulasi udara. Sekarang sudah ada.”

Jam kerja Hikmah dari pukul 6.00 sampai 18.00, diselingi istirahat 1 jam. Gaji pokoknya Rp3,4 juta dengan waktu kerja 8 jam. Di luar itu, pekerjaannya dihitung lembur. Di divisinya, lembur bersifat wajib selama tiga jam setiap hari. Alhasil, upahnya bervariasi setiap bulan. Rata-rata Rp7 juta, tapi jika ada lemburan lebih, bisa sampai Rp8 juta.

Upah bulanan itu dipakai Hikmah untuk bayar kos Rp1,5 juta/bulan, kredit motor Rp1 juta/bulan, uang makan Rp2 juta/bulan; sisanya, dikirim ke kampung untuk membiayai orangtua dan sekolah adik-adiknya.

Situasi ini berbeda dengan pekerja-pekerja di divisi produksi smelter yang waktu lemburnya terbatas, sehingga upah mereka berkisar gaji pokok Rp3,4 juta. Para pekerja divisi smelter dan gudang kerap mengeluh: Upah mereka tak seberapa tapi beban dan risiko kerja besar.

Meski gajinya bisa Rp7-8 juta/bulan, Hikmah berkata “banyak kecewa” bekerja di PT GNI. Ketika mulai masuk kerja, tidak ada sosialisasi aturan perusahaan dan keselamatan kerja. Hikmah dilepas begitu saja. “Pengenalan lingkungan itu, kan, harus. Di dalam (kawasan) itu banyak tempat bahaya. Pengalaman saya kerja sebelumnya, ada sosialisasi dari perusahaan.”

Hikmah baru mendapatkan seragam kerja atau pakaian safety dari perusahaan setelah bekerja dua tahun, tepatnya setelah Serikat Pekerja Nasional dan para pekerja melakukan demonstrasi.

“Dulu, pertama kali kerja, cuma dikasih helm. Pakai kaos begini,” kata Hikmah sambil menunjuk kaos di balik seragam PT GNI. Selama bekerja itu pula, ia tidak mendapatkan safety boots. “Kadang, saya lihat ada pekerja yang cuma pakai sandal.”

Perusahaan sudah memberikan sepatu kerja, tapi kualitasnya tidak sesuai standar keamanan. “Sepatu bot tapi kulit sintetis. Kemarin teman tes, diinjak pakai mobil truk, bengkok.” Maka, khawatir celaka, ia memilih membeli sepatu sendiri yang menurutnya lebih aman. “Yang ini ujungnya besi,” katanya menunjuk sepatu bot yang dipakainya.

Pada 14 Januari, Hikmah ikut aksi mogok kerja bersama SPN. Salah satu tuntutan para pekerja adalah perusahaan tidak melakukan pemotongan gaji tanpa alasan jelas. Tetapi, setelah mengikuti demo, Hikmah terkena SP-3 dan potong gaji. Perusahaan beralasan ia mangkir kerja.

Hikmah bukan satu-satunya peserta aksi yang menerima surat peringatan dan potong gaji. Ada juga yang kena pecat.

Perusahaan memotong tunjangan pekerja. Umumnya, di luar gaji pokok, pekerja mendapatkan tunjangan dan uang lembur. Perusahaan biasanya potong tunjangan skill atau uang lembur. Besaran uang lembur antara Rp400-600 ribu/bulan, tergantung kinerja. Hikmah kena potong uang lembur selama sebulan.

Hikmah berkata bukan anggota melainkan menyebut dirinya “simpatisan” Serikat Pekerja Nasional. Ia bilang “banyak pekerja” PT GNI tertarik gabung serikat tapi khawatir kena ancaman putus kontrak.

“Kita ini mau mencari makan saja sulit,” kata Hikmah.

Amirullah, Ketua SPN PT GNI, berkata para pengurus serikat membagikan 4 ribu lembar formulir pendaftaran anggota. Sebagai gambaran, jumlah buruh PT GNI sekitar 9 ribu pada 2022, dan naik 11 ribu pada 2023. Meski begitu, pekerja yang gabung serikat sekitar 80 orang.

“Banyak peminatnya. Cuma, karena ada intimidasi dari perusahaan, teman-teman takut mengembalikan formulir,” keluh Amirullah.

Puji Santoso dari Dewan Pimpinan Pusat SPN di Jakarta berkata ketakutan memang jadi alasan utama para pekerja PT GNI tidak gabung serikat. Di sisi lain, para pekerja berharap kepada SPN sebagai satu-satunya serikat di PT GNI.

“Mereka butuh semacam garansi ketika mereka bergabung serikat, mereka masih tetap bekerja,” ujar Puji.

SPN terbentuk di PT GNI pada 21 April 2022. Pada 23 Mei, pembentukan serikat tercatat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Morowali Utara. Tetapi, saat para pengurus SPN memberikan surat pemberitahuan kepada pimpinan perusahaan tentang berdirinya serikat, perusahaan melakukan pemberangusan.

Satu per satu pengurus serikat tidak diperpanjang kontrak kerjanya. Semula menyasar tiga pengurus termasuk Amirullah per Juli 2022. Gelombang berikutnya menimpa Minggu Bulu. Total, ada 10 pengurus SPN PT GNI yang dipecat perusahaan, termasuk dua pengurus yang diputus kontrak sesudah aksi mogok 14 Januari.

Modusnya bermacam-macam, tapi mayoritas kontrak kerja mereka dihentikan manajemen PT GNI. Ada pula yang dipaksa mengundurkan diri.

Imbas UU Cipta Kerja pemerintahan Joko Widodo, perusahaan punya kewenangan besar menetapkan status kontrak pekerja kurang dari setahun. Mayoritas pekerja PT GNI disodorkan kontrak kerja tiga bulan pertama, yang kemudian bisa diperpanjang lagi selama 6 bulan, lalu 9 bulan.

Meski begitu, ada sejumlah kasus pekerja yang kurun kontrak kerjanya semakin pendek.

Amirullah, misalnya. Awalnya dikontrak 6 bulan, tapi setelah diketahui sebagai pengurus SPN, kontraknya diperpendek cuma 3 bulan, lalu 1 bulan, dan tak diperpanjang lagi.

Itu juga menimpa Minggu Bulu. Semula dikontrak 2 bulan, yang disebut perusahaan sebagai “masa uji coba”, kemudian diperpanjang 6 bulan, lalu 9 bulan. Ketika perusahaan mengetahui Minggu Bulu adalah pengurus serikat, perpanjangan kontrak berikutnya cuma 3 bulan. Setelahnya, masa kerjanya dihentikan manajemen PT GNI.

Minggu Bulu pernah bertanya ke pihak HRD untuk menjelaskan alasan kontraknya dihentikan, sementara kinerja dan absensinya tidak buruk. Pihak HRD memintanya bertanya ke divisinya, tapi dari divisi, “saya disuruh tanya ke HRD. Macam dipingpong.”

Setelah aksi mogok kerja, selain para pengurus SPN, “ada beberapa anggota serikat yang kena SP. Saya advokasi ke HRD karena saya anggap itu sudah tindakan melanggar hukum. Mogok kerja bukan hal ilegal,” cerita Minggu Bulu. “Tapi, beberapa teman yang saya advokasi malah kena end-contract semua.”

“HRD bersikukuh tidak mempermasalahkan mogok, tapi mangkirnya. Saya berdebat di situ. Sudah jelas dia mangkir karena mogok kerja.”

Rezim buruh kontrak berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT di PT GNI adalah akar masalahnya, kata Puji Santoso dari DPP SPN.

Dalam sistem ketenagakerjaan seperti ini, perusahaan bisa dianggap tidak melanggar hukum saat memutus kontrak pekerja yang bergabung serikat. Perusahaan bisa berdalih masa kerja pekerja sudah habis, tanpa perlu menjelaskan alasan sebenarnya kontrak mereka tidak diperpanjang lagi.

“Perusahaan main dengan end-contract. Ini agak susah kami membantahnya,” kata Puji. “Yang harus dibatalkan adalah sistem PKWT. Barulah pekerja ada jaminan.”

* * *

MENJADI PENGURUS DI satu-satunya serikat pekerja PT GNI adalah perkara pelik. Dan tantangannya semakin berat sesudah peristiwa “bentrok” antar-kelas pekerja pada 14 Januari 2023.

Sebelum ditetapkan tersangka, Minggu Bulu adalah satu-satunya pengurus SPN di PT GNI yang masih tinggal di Morowali Utara, kendati kontrak kerjanya pun sudah dihentikan manajemen perusahaan. Para pengurus lain sudah pulang kampung atau mencari tempat aman di luar Morowali Utara. Beberapa yang terkena pemutusan kontrak bekerja di tempat lain.

Minggu Bulu mengambil pekerjaan harian di Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) di Topogaro, berjarak 60-an km atau 1,5 jam berkendaraan motor dari tempat tinggalnya di Desa Tompira. Pada saat yang sama, ia harus memenuhi panggilan kepolisian dan pergi ke Polres untuk mengunjungi para pekerja yang ditetapkan tersangka.

Ia berkata kewalahan menanganinya sendirian. “Sejak mereka ditangkap sampai mereka diproses pidana, kebanyakan saya yang handle. Mulai dari mencari kontak keluarganya sampai memberikan semangat dan motivasi,” ujarnya. “Tapi, ketika saya sudah jadi target, serba bingung saya. Bagaimana bisa handle teman-teman sedangkan saya pusing memikirkan diri saya sendiri?”

Keluarga para tersangka menghubungi Minggu Bulu untuk menanyakan perkembangan proses pemenjaraan anak-anak dan saudara mereka. “Terus terang saya bingung juga menjawabnya.”

Pertanyaan-pertanyaan keluarga itu lebih tepat jika disampaikan ke pendamping hukum, kata Minggu Bulu. Tetapi, di sisi lain, akses menuju Polres Morowali Utara pun jauh. Tim pengacara para pekerja berasal dari Palu, pusat pemerintahan Sulawesi Tengah, yang berjarak 400-an km ke Morowali Utara. Dari Palu, mereka perlu naik pesawat ke Morowali selama 1 jam, lalu mengendarai mobil atau motor selama 1,5 jam untuk sampai Polres. Opsi lain, melalui jalur darat selama 10 jam. Alhasil, tim pengacara tidak bisa intens mendampingi dan mengunjungi para pekerja.

“Setelah saya limpahkan kontak keluarga ke pengacara, saya nggak bisa melakukan apa-apa lagi. Karena bagaimana saya mau memberikan semangat sedangkan saya juga butuh dukungan?” ujar Minggu Bulu.

Sampai sekarang Serikat Pekerja Nasional belum memiliki Dewan Pimpinan Cabang di Morowali Utara. Para pengurus SPN di PT GNI masih berkoordinasi dengan DPC SPN di Morowali atau langsung ke pengurus pusat di Jakarta. Perjalanan darat dari Morowali ke Morowali Utara butuh 3 jam.

Di Morowali, DPC SPN bertanggung jawab atas 3.000-an lebih anggota serikat, yang semuanya bekerja di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). SPN termasuk serikat terbesar di Morowali, sehingga pengurusnya pun tidak selalu intens berkoordinasi dengan SPN PT GNI di Morowali Utara.

DPC SPN Morowali berdiri pada 2017. Para pengurusnya harus mengelola kawasan industri yang jumlah pekerjanya 80-an ribu. Katsaing, mantan Ketua DPC SPN Morowali, yang kini nyaleg lewat Partai Buruh, membandingkan pengalamannya dulu mengorganisir buruh pertambangan batubara di Kalimantan dan di IMIP.

“Kalau di pertambangan batubara, lingkup pengorganisirannya kecil, tingkat pemahaman soal organisasi pun sudah bagus. Di IMIP, pekerjanya masih pemula. Persentasenya, 75:25. 75 pekerja pemula, 25 pekerja berpengalaman. Para pekerja pemula tidak tahu apa itu serikat,” terang Katsaing, menambahkan bahwa melakukan edukasi pengorganisiran butuh waktu panjang, apalagi jadwal kerja di industri smelter itu padat.

Dalam pandangannya, para pengurus SPN PT GNI dalam posisi terimpit. Organisasi baru berdiri pada 2022, tapi telah menghadapi berbagai kasus kecelakaan kerja dan masalah-masalah ketenagakerjaan lain. Di tengah itu, perusahaan melakukan pemberangusan serikat.

“Administrasi keanggotaan masih karut-marut, serikat baru berdiri sudah diobok-obok dan disibukkan dengan masalah pembubaran oleh perusahaan,” kata Katsaing.

Minggu Bulu dan Amirullah mengakui kesulitan membangun dan mempertahankan serikat. Perusahaan melakukan pemberangusan serikat alias union busting sehingga hanya segelintir dari ribuan pekerja PT GNI yang berani gabung serikat. Selain itu, tidak semua anggota membayar iuran sebagai dana operasional serikat. Alhasil, para pengurus pakai uang pribadi.

Amirullah berkata sudah menghabiskan sekitar Rp5 juta dari uang pribadi untuk kegiatan serikat. “Uang tabungan saya selama 10 tahun,” ujarnya. “Untuk kebutuhan operasional. Biaya nge-print. Cetak formulir. Kalau teman-teman pada kumpul, pasti beli kopi, rokok, apa saja. Habis!”

“Cuma, ya, sudah konsekuensi perjuangan. Kalau mau mengeluh, mengeluh ke siapa?”

PEKERJA TIONGKOK

Dari belasan ribu pekerja, sedikitnya ada lebih dari seribu pekerja Tiongkok di PT GNI. Kami mewawancarai salah satu mantan pekerja, berinisial V demi alasan keamanan, yang pernah bekerja sebagai operator alat berat.

Dari negaranya, bersama rombongan pekerja Tiongkok lain, V mendarat di Manado, lalu terbang dengan pesawat ke Morowali, lantas menggunakan jalur darat menuju Morowali Utara.

V baru menyadari setiba di Morowali bahwa empat orang dari rombongannya tewas dalam perjalanan menuju PT Virtue Dragon Nickel Industri di Konawe, Sulawesi Selatan. “Perahunya terbalik. Empat orang tewas malam itu,” cerita V. “Saat itu pihak PT GNI memperingatkan untuk tidak menceritakan peristiwa itu. Jika ada yang buka mulut, mereka tidak akan bisa pulang.”

V sudah tiga kali terkena pemotongan upah dari pengawasnya, masing-masing 20.000 CNY atau setara Rp42 juta. V curiga atasan atau pihak perusahaan sengaja mencari-cari alasan memotong gaji para pekerja Tiongkok. “Kami tidak didenda karena kesalahan kami, tapi karena denda dapat menguntungkan perusahaan atau pribadi tertentu.”

Mestinya V bekerja selama setahun, tapi ia ditahan di kantor polisi setelah mengkritik perusahaan di WeChat, aplikasi media sosial yang banyak digunakan warga Tiongkok.

V mengomentari sebuah unggahan artikel di WeChat mengenai para pekerja Tiongkok kesulitan pulang dan keluhan pekerja Tiongkok soal jam kerja panjang dibalas intimidasi dan kekerasan.

V kemudian ditangkap polisi Indonesia dan dibawa ke kantor polisi. Berdasarkan kiriman foto-fotonya, V ditahan di Polres Morowali Utara. Ia ditahan selama 26 hari tanpa didampingi penerjemah atau pengacara. Untuk bebas, V mesti meneken dokumen yang melarangnya berkomentar negatif mengenai PT GNI. Awalnya menolak, tapi ia diancam tak akan dibebaskan dari penjara.

Di kantor polisi, V bertemu seorang pekerja Tiongkok lain berinisial Z, yang ditahan 10 hari setelah mengunggah foto pekerja Tiongkok gantung diri dalam kawasan industri di grup WeChat.

Karena unggahannya itu, Z dipukul petugas keamanan PT GNI, lalu ditahan di kantor polisi. Z menunjukkan foto pelipisnya robek. Z berkata perusahaan memotong upahnya untuk membiayai kebutuhannya selama di kantor polisi, yang uangnya diserahkan ke Polres Morowali Utara.

Bekerja di Indonesia menjadi pengalaman traumatik bagi V. Selain jadi korban intimidasi, V kerap mendengar informasi sesama pekerja Tiongkok yang tinggal nama. Ada yang tewas dalam perjalanan ke Indonesia, mengalami kecelakaan kerja, ada yang mati bunuh diri.

“Kami yang masih hidup bisa berbicara kepada Anda, tapi siapa yang peduli dengan mereka yang hilang dan mati?” ujar V.

KASUS-KASUS KECELAKAAN pekerja Tiongkok di PT GNI, seperti jatuh dari lantai tinggi dan mati tertabrak alat berat loader, pernah disaksikan seorang pekerja Indonesia di bagian konstruksi PLTU. Tetapi, katanya, yang membedakan antara kasus pekerja Indonesia dan Tiongkok adalah “banyak sekali” pekerja Tiongkok yang gantung diri.

Seorang pekerja Tiongkok, melalui seorang penerjemah, sempat mengeluh mengenai upah dirinya dan teman-temannya tak dibayar perusahaan selama 6 bulan, juga tak bisa pulang.

“Mereka bilang sudah capek di sini. Tertekan. Tidak sesuai apa yang dijanjikan dengan ketika kerja di sini.”

Informasi pekerja Tiongkok bunuh diri berseliweran di WeChat. Sebuah artikel menyebut Indonesia sebagai “Island of the Dead”. Artikel itu memuat foto dan informasi dua pekerja Tiongkok gantung diri dalam kurun tiga minggu pada Mei 2022.

“Perusahaan tidak menginvestigasi penyebab kematian. Perusahaan justru menetapkan larangan untuk memotret dan menyebarkan kasus kematian atau kejadian negatif lain di masa depan,” tulis artikel tersebut.

Pada awal pandemi COVID-19, para pekerja Tiongkok kesulitan kembali ke negaranya. Perusahaan melanggar janji menanggung biaya mereka pulang.

Seorang warga Tiongkok yang tinggal dan telah berkeluarga di Indonesia, dengan nama samaran Vincent demi alasan keamanan, pernah menggalang donasi bersama relawan untuk membantu para pekerja Tiongkok yang terjebak di Indonesia.

Ketika para pekerja Tiongkok hendak pulang dan transit di Jakarta, para relawan membantu menyediakan makan dan menghubungkan ke pengacara di Tiongkok. Vincent berkata kelompok relawannya membantu lebih dari 500 pekerja Tiongkok dari Sulawesi, yang mayoritas bekerja di perusahaan smelter nikel.

Baca juga:  ALIANDO DEMO PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NO 108/2017

Rata-rata mereka yang bekerja di smelter nikel berusia 40 tahun, ada pula berusia 50 tahun. Kebanyakan berkeluarga dan menjadi tulang punggung keluarga.

“Mereka punya anak-anak di rumah. Punya orangtua yang perlu mereka urus.”

Mereka datang ke Indonesia untuk mencari pendapatan yang lebih baik. Tetapi, ketika sampai di Indonesia, kenyataannya tidak seindah janji. Para pekerja tidak mendapatkan visa kerja yang sah untuk bekerja di Indonesia. Banyak dari mereka sekadar mengandalkan visa turis.

“Tidak hanya 1 atau 2 orang yang tidak punya visa kerja, tapi banyak. Entah bagaimana, mereka dapat bekerja. Saya tidak paham bagaimana mereka bisa bekerja di Indonesia tanpa visa kerja.”

Para pekerja tidur bersama 10 pekerja lain dalam satu ruangan. Makanan ditentukan perusahaan. Ada perusahaan memberi makanan layak, ada pula yang tidak. Sehari-hari, para pekerja Tiongkok menghabiskan 10-12 jam bekerja, beberapa lebih dari 12 jam.

Meski telah bekerja, upah mereka bisa tidak dibayar tepat waktu, dengan keterlambatan 3-6 bulan. Beberapa masih tidak mendapatkan seluruh upahnya meski telah kembali ke Tiongkok.

“Beberapa perusahaan berbohong. Mereka bilang, ‘Ketika kamu kembali, kami akan memberikan upahmu.’ Tapi, ketika mereka sudah pulang, tidak ada informasi. Pihak perusahaan menghilang. Jadi, para pekerja harus mencari pendamping hukum di Tiongkok,” cerita Vincent.

Perkenalan Vincent dengan masalah pekerja Tiongkok di Indonesia bermula dari unggahan di WeChat. Dari percakapannya, Vincent menemukan perusahaan sengaja menahan sejumlah pekerja Tiongkok supaya tidak segera pulang ke kampung halaman. Kurun 2021-2022, jadwal pesawat udara ke Tiongkok masih terbatas. Harganya melonjak tinggi. Sekali perjalanan bisa Rp100 juta.

“Sebelum para pekerja Tiongkok datang ke Indonesia, perusahaan menjanjikan akan membelikan tiket pesawat pulang. Tapi, karena harga tiket terlalu mahal, perusahaan membuat alasan untuk tidak membelikan tiket. Sehingga banyak pekerja yang tidak bisa kembali ke Tiongkok bahkan ketika kontrak mereka sudah berakhir,” ujar Vincent.

Rata-rata kontrak pekerja Tiongkok berjangka 6 bulan; paling lama setahun. Setelah kontrak berakhir, mereka mesti memperpanjang masa tinggal di Indonesia tanpa pekerjaan. “Mereka tinggal di Jakarta selama 6-10 bulan, tapi mereka tidak mampu membayar biaya hotel. Tidak ada uang karena mereka tidak digaji.”

“Ketika mereka tinggal di hotel, kondisi hidup mereka bisa sangat sulit. Beberapa dari mereka hanya mampu membeli Indomie selama sebulan,” kisah Vincent.

Sejak pandemi COVID-19 mereda, harga tiket pesawat sudah normal dan jadwal terbang semakin banyak. Namun, kasus-kasus pengendalian pekerja, pemotongan dan penahanan upah pekerja Tiongkok, disebut tetap marak.

“Tiket pesawat sudah lebih terjangkau sehingga memudahkan pekerja Tiongkok untuk pulang. Tapi, perusahaan masih memegang kuasa menentukan kapan seorang pekerja dapat kembali ke Tiongkok. Dan para pekerja Tiongkok tetap mengalami berbagai bentuk kekerasan tanpa ada penegakan hukum yang tegas mengawasi perusahaan,” terang China Labor Watch.

Kepada Project Multatuli, China Labor Watch mengirimkan beberapa dokumen kasus kecelakaan kerja di PT GNI. Pada 8 Maret 2023, misalnya, seorang pekerja Tiongkok di bagian tungku smelter tewas saat mengoperasikan electric hoist. Ia terpeleset dari lantai tiga.

Berdasarkan pemberitahuan resmi PT GNI, pihak manajemen justru menyalahkan pekerja Tiongkok itu yang “kurang memiliki kesadaran” tentang keselamatan kerja. Dokumen berbahasa Mandarin itu menyebutkan: “Ketika mengoperasikan electric hoist, ia tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya dan tidak menutup pagar pembatas sehingga menyebabkan ia menginjak udara dan jatuh dari lantai tiga ke lantai dasar.”

Dalam dokumen resmi itu, PT GNI tidak melakukan penyelidikan eksternal atas kejadian tersebut sehingga “kami tidak bisa mengevaluasi sejauh mana kecelakaan itu disebabkan kelalaian pekerja,” tulis China Labor Watch.

Pada kasus kematian I Made Defri Hari Jonathan dan Nirwana Selle, China Labor Watch menduga uang kompensasi dari manajemen PT GNI kepada keluarga diambil dari uang penalti atau pemotongan upah beberapa pekerja dan pengawas tenaga kerja Tiongkok.

Ada 17 pekerja Tiongkok yang dikenakan penalti, dari 3.000 CNY-20.000 CNY, yang totalnya 129.000 CNY atau setara Rp273 juta.

Persoalannya, ujar China Labor Watch, “Sejauh mana para pekerja ini bertanggungjawab atas kecelakaan itu?”

China Labor Watch kesulitan melacak dan mendata kasus kematian para pekerja Tiongkok di PT GNI. Selama ini, manajemen PT GNI tidak transparan dalam melaporkan kecelakaan kerja. Untuk mendapatkan informasi soal kecelakaan kerja, China Labor Watch biasanya mengandalkan pekerja yang membagikan informasi itu melalui media sosial.

Sikap tidak transparan perusahaan dibarengi kontrol penggunaan media sosial dan pembatasan kebebasan berekspresi para pekerja Tiongkok, sebagaimana terjadi pada V. Jika seorang pekerja ketahuan mengunggah tulisan atau gambar yang dianggap memperburuk citra perusahaan, pekerja tersebut berisiko dikenakan penalti atau ditahan secara ilegal.

Kami mengonfirmasi cerita para pekerja yang pernah ditahan di Polres Morowali Utara kepada Kapolres AKBP Imam Wijayanto. Jawabannya, ia tidak membenarkan tapi juga tidak menyanggah.

“Saya baru menjabat sebagai kapolres pada 14 Januari 2023,” katanya. Ia bertanya balik tentang identitas dan kasus para pekerja PT GNI yang ditangkap, sambil menambahkan, “Tolong memberitakan dengan berimbang.”

Vincent masih menuliskan cerita-cerita para pekerja Tiongkok di Indonesia via laman WeChat. “Jika tidak ada artikel, tidak ada berita, tidak akan ada yang tahu kondisi mereka. Bahkan ketika mereka menghilang, atau bunuh diri, tidak akan ada yang sadar,” kata Vincent.

“Tidak ada yang dapat menyentuh perusahaan-perusahaan ini, baik pemerintah Tiongkok maupun Indonesia. Tidak ada konsekuensi bagi mereka.”

‘KITA SEMUA KELAS PEKERJA’

Kasus-kasus kecelakaan kerja di PT GNI bukanlah kasus terpisah dari industri hilir nikel yang terkonsentrasi di Pulau Sulawesi.

Lala, seorang pekerja dari Morowali berusia 32 tahun, mengisahkan pengalamannya bekerja di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Wanxiang Nickel Indonesia. Kedua industri ini berada di pesisir Jalan Trans Sulawesi.

Di IMIP, Lala bekerja di divisi moulding atau pencetakan ore atau bijih nikel dalam wujud cair. Ia harus menghadapi asap hitam tebal. “Saya pakai penutup kepala dengan masker respirator yang moncong itu. Cuma itu hanya tahan beberapa jam. Bahkan 30 menit saja jika asap sedang full. Meski pakai itu, di dalam hidung masih penuh. Lembut sekali asap itu.”

Lala mengalami sakit tifus selama sebulan tapi tidak menjalani rawat inap. Perusahaan mendiskualifikasinya karena Lala tidak bisa memberikan surat keterangan sakit dari rumah sakit. Ia curiga sakitnya saat itu terkait pekerjaannya. Ia sering kecapekan dan mengalami sesak napas.

Di divisinya, pekerjaan dibagi tiga shift terdiri dari tiga regu. Dalam satu minggu, Lala masuk shift pagi. Satu minggu berikutnya, shift sore. Satu minggu berikutnya, shift malam. “Bisa dipastikan setiap hari bekerja. Ada waktu off tapi biasanya digilir oleh departemen. Dan jadi tidak tentu.”

Beberapa kali Lala menyaksikan kecelakaan. Seperti pekerja Tiongkok yang kakinya patah terkena beban berat, atau pekerja Indonesia yang tangannya hancur terlindas mobil forklift yang berjalan mundur. Kaki seorang kawannya melepuh dan hancur setelah terkena cairan bijih nikel panas.

“Standarnya, celana harus dikasih masuk di luar sepatu. Tapi, habis istirahat makan, dia lupa. Dia buru-buru, pergi ke percetakan, masuk cairan ke kakinya.”

Ada pula kecelakaan-kecelakaan ‘kecil’ yang tak dianggap kecelakaan kerja oleh departemen safety perusahaan. Misalnya, meski ia memakai seragam pelindung kerja berbahan lebih tebal daripada seragam pekerja di divisi lain, tetapi seragam itu tidak tahan api. Percikan cairan panas masih bisa menembus lekukan-lekukan baju. Lengan dan punggungnya melepuh atau gosong. Ia sempat mengadu ke bagian safety, tapi cuma dijawab, “Kalau yang seperti itu bukan kecelakaan.”

Lala bekerja di IMIP selama 1,5 tahun. Kini ia bekerja sebagai sopir dump truck di PT Wanxiang Nickel Indonesia. Tetap saja pekerjaannya terasa berat. “Tapi saya tidak membayangkan teman-teman pekerja di bagian produksi. Mereka hanya off ketika malam. Sewaktu saya di IMIP dengan sistem tiga shift tiga regu saja berat sekali, bagaimana dengan teman-teman di sini?”

Trend Asia, organisasi di Jakarta yang mengadvokasi topik transisi energi, pernah melakukan pemantauan berita. Temuannya, ada 68 insiden kecelakaan kerja di industri smelter nikel di Sulawesi dan Maluku; 76 pekerja terluka dan 57 meninggal dunia.

Menurut Arianto Sangadji, mantan Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka (YTM) di Palu, beragam kasus kecelakaan kerja di industri smelter nikel tidak terlepas dari ongkos produksi yang ditekan semurah mungkin. Implikasinya, upah buruh ditekan serendah mungkin dan situasi keselamatan pekerjanya awur-awuran.

“Korporasi tidak punya perhatian yang sungguh-sungguh soal keselamatan kerja. Ingin cepat melakukan ekspansi dan mengumpulkan keuntungan, dengan merendahkan perhatian soal isu keselamatan kerja,” ujar Arianto, yang menulis kertas kerja bertajuk “Tata Kelola Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah: Pengalaman Industri Berbasis Nikel di Morowali” pada 2020, diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Yayasan Auriga Nusantara.

Di sisi lain, tambahnya, industrialisasi di Pulau Sulawesi tidak semapan proses industrialisasi di Pulau Jawa. Kebanyakan gerakan akar rumput di Sulawesi tumbuh dari perlawanan-perlawanan petani atas sengketa tanah dengan perusahaan perkebunan atau pertambangan.

Tetapi, selama 10 tahun terakhir, sejak industri pengolahan nikel masuk ke Indonesia lewat investasi Tiongkok, pertumbuhan industri di Sulawesi Tengah dan beberapa wilayah lain di Pulau Sulawesi terjadi secara pesat dan masif.

Pada 2022, Sulawesi Tengah menjadi provinsi dengan investasi penanaman modal asing (PMA) terbesar dari seluruh provinsi lain di Indonesia. Jumlah realisasinya mencapai USD7,5 miliar atau setara Rp112,23 triliun; mengalahkan Jawa Barat, Maluku Utara, bahkan DKI Jakarta.

Arianto menyebut nilai investasi itu tidak lepas dari peralihan industri pengolahan nikel, semula hanya di Tiongkok lalu berpindah di Indonesia. Di seluruh dunia, hanya Tiongkok dan Indonesia yang memproduksi nickel pig iron (NPI).

NPI jadi opsi bahan baku paling murah untuk memproduksi baja nirkarat (stainless steel). Selain memiliki sumber deposit bijih nikel terbesar di dunia yang juga jadi bahan baku baterai kendaraan listrik, Indonesia menjadi negara yang menggiurkan karena ongkos produksi NPI termurah.

Pada 2017, misalnya, ongkos produksi NPI di Tiongkok sebesar USD7.300-9.600/ton. Sementara ongkosnya di Indonesia sebesar USD5.200-7.100 USD/ton.

Ongkos produksi itu memasukkan keselamatan kerja. Maka, jika perusahaan menetapkan standar keselamatan kerja yang tinggi, ongkos produksi pun bertambah. Alternatif lebih menguntungkannya: membebankan ongkos produksi ke pekerja dengan tidak memfasilitasi mereka dengan APD dan standar keamanan kerja lain yang lebih layak.

“Dengan harus mengenakan pakaian yang standar, perusahaan harus mengeluarkan cost sendiri. Salah satu cara untuk merendahkan ongkos produksi adalah membiarkan pekerja mengenakan sandal atau pakai celana jin segala macam.”

Arianto menyebut industri smelter nikel perlu dilihat sebagai industri yang capital intensive dan berbasis sumber daya alam. Capital intensive dalam arti nominal investasinya amat mahal bernilai triliunan rupiah. Dan berbasis sumber daya alam, dalam arti cadangan mineral bijih nikel terbatas di wilayah tertentu, di antaranya di Pulau Sulawesi dan Maluku.

Flourish logoA Flourish chart

Industri ini berbeda dengan industri sektor garmen atau tekstil, misalnya, yang bersifat footloose, artinya punya opsi bisa berpindah tempat. “Industri garmen di Jabodetabek, misalnya, kalau ada tuntutan gerakan buruh yang besar atau kebijakan pemerintah soal upah regional terlalu tinggi, mereka bisa relokasi ke daerah lain. Katakanlah ke Jawa Tengah atau ke luar Jawa,” sebut Arianto.

“Tapi, dalam kasus seperti di Morowali, protes-protes akan dihadapi dengan keras. Kalau mau pindah, pindah ke mana? Tidak mungkin ke Malaysia atau Thailand yang tidak punya cadangan bijih nikel.”

Alhasil, pemerintah Indonesia menetapkan kawasan industri smelter nikel sebagai “objek vital negara” dan menjadi Proyek Strategis Nasional demi memastikan keamanan investasi. Protes buruh atau sengketa dengan masyarakat dianggap “ancaman”.

“Menjadikan buruh sebagai musuh, dalam pengertian mereka bisa dengan mudah ditendang sebagai pekerja, itu karena karakter industri yang tidak mudah berpindah dan sifat capital intensive tadi,” jelas Arianto.

“Jadi, tingkat proteksi terhadap kawasan itu oleh negara tinggi sekali. Termasuk melalui regulasi yang sifatnya lebih memudahkan modal untuk mengontrol kelompok buruh, misalnya dengan mekanisme kontrak kerja yang sangat fleksibel.”

Pengendalian korporasi terhadap buruh dapat dilihat dari, salah satu contohnya, respons perusahaan melakukan union busting dan kendali terhadap buruh Tiongkok. Selanjutnya, UU Cipta Kerja buatan pemerintahan Jokowi memudahkan perusahaan memutus kerja para buruh yang dianggap melawan. Salah satunya dengan status kontrak yang semakin pendek.

“Dari segi kepentingan modal, dengan kondisi teralienasi seperti itu, mereka akan lebih mudah dikendalikan. Mereka akan jadi subjek yang sangat pasif; mudah diatur dan direpresi. Saya kira kasus-kasus bunuh diri di kalangan pekerja Tiongkok jadi indikasi bahwa mereka juga menghadapi tekanan psikologis yang tinggi akibat kondisi kerja yang buruk dan tingkat eksploitasi yang ekstrem,” terang Arianto.

Sentimen anti-Tiongkok/Tionghoa di kalangan pekerja Indonesia dan penduduk di kawasan industri bisa jadi kencang. Sentimen ini tidak lepas dari pelanggengan politisasi identitas di tingkat nasional. Misalnya, pada masa pemilihan presiden 2019, isu tenaga kerja Tiongkok di Indonesia mendominasi dan sengaja dirawat kalangan tertentu.

“Isu rasial itu direproduksi oleh orang di Jakarta. Sentimen yang justru dipelihara oleh kalangan elite, bahkan para inteleknya,” lanjut Arianto.

Pelanggengan isu rasial di masyarakat setempat turut menguntungkan perusahaan. Kasus-kasus pelanggaran ketenagakerjaan dan kecelakaan kerja terkubur seiring kencangnya isu “konflik horizontal” antara buruh Indonesia dan buruh Tiongkok.

“Dampak paling menguntungkannya, aparat keamanan dihadirkan lebih banyak untuk mencegah apa yang mereka sebut sebagai ‘potensi kerusuhan’,” kata Arianto.

Alih-alih menggencarkan politisasi identitas, Arianto menegaskan situasi ketenagakerjaan di PT GNI dan industri smelter nikel di Indonesia mestinya disikapi dengan perspektif kelas. Salah satunya membangun kesadaran bahwa buruh Indonesia maupun buruh Tiongkok sama-sama kelas pekerja yang dieksploitasi oleh kelas pemilik modal.

Bagaimanapun, tuntutan serikat pekerja telah mempengaruhi keputusan perusahaan untuk memperbaiki kondisi keamanan dan keselamatan para pekerja.

Di IMIP, aksi protes pada 2020 tentang kebijakan perusahaan terkait pandemi COVID-19, upah, dan keselamatan kerja berujung pemecatan sejumlah pimpinan serikat. Tetapi, secara berangsur-angsur, tuntutan serikat pekerja dipenuhi. Di PT GNI, perusahaan mulai membagi-bagikan seragam APD kepada pekerja dan mengurangi tindakan pemotongan upah sewenang-wenang.

“Saya kira apa yang terjadi di PT GNI saat ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di IMIP, di masa lalu,” kata Arianto. “Jika melihat sejarah di IMIP, keselamatan kerja menjadi salah satu tuntutan penting dari gerakan buruh di sana. Saya kira itu yang membuat IMIP secara perlahan memperbaiki diri. Bukan karena punya iktikad baik tapi karena desakan atau gerakan buruh yang tumbuh dari bawah.”

Karena itu, pengorganisiran buruh Indonesia bersama-sama Tiongkok melalui serikat adalah pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. “Ini bukan pekerjaan mudah. Ada kendala bahasa dan segala macam. Tapi, saya kira, harus ada usaha untuk menyuntikkan kesadaran kelas.”

“Lupakan soal paspor. Bukan karena kita orang Tiongkok, kita orang Indonesia, tapi kita sebagai buruh,” tegas Arianto.

EPILOG

Hari terakhir saya berkontak dengan Minggu Bulu pada 10 April 2023. Saya mendapatkan kabar Minggu Bulu dan Amirullah ditetapkan tersangka buntut aksi mogok 14 Januari.

Pagi itu Minggu Bulu sudah tiba di Polres Morowali Utara bersama Amirullah dan pengacaranya. Saya menanyakan situasi dan kabar mereka. “Ya, jalani saja. Mau bagaimana lagi?” Ia berusaha tertawa ringan.

Minggu Bulu sudah harus masuk ke ruangan Polres. Saya menitipkan salam ke Amirullah.

Setelahnya, status WhatsApp Minggu Bulu menggambarkan suasana hati muram. “Masih adakah keadilan di negeri ini?” Esok harinya, ia tidak berkabar lagi.

Saya mendapatkan kabar dari pengurus SPN di Jakarta bahwa Minggu Bulu langsung ditahan bersama Amirullah setelah proses pemeriksaan yang berakhir pada jam 2 pagi. SPN bersama tim pengacara mengirimkan surat permohonan penangguhan penahanan untuk keduanya.

Jumardin bersama para tahanan lain gagal berkumpul bersama keluarganya selama bulan Ramadhan. Mereka telah dipindahkan dari Polres Morowali Utara ke Lapas Poso pada 16 Maret 2023. Sementara itu pendamping hukum Front Advokat Rakyat Morowali (FARM) telah mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka 16 pekerja.

Sejak 9 Februari 2023, Ketua Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askary, telah mengirimkan surat permohonan kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Sulawesi Tengah Rudy Sufahriadi untuk menangguhkan penahanan para tersangka. Tetapi, surat itu diabaikan.

Angka jumlah tahanan simpang siur. Awalnya kepolisian menyebut 16 plus 1. Tapi, surat permohonan praperadilan yang diajukan tim pengacara, jumlah tersangka 16 orang. Sementara dalam surat pembacaan dakwaan pada 17 April 2023, jumlahnya berubah lagi jadi 15 orang.

Dikonfirmasi ke Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Djoko Wienarto dan Kapolres Morowali Utara AKBP Imam Wijayanto, mereka menyebut ada 18 tersangka dan kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Poso.

Ke-16 tersangka didakwa pasal kekerasan di muka umum; satu orang dijerat pasal tindakan membakar; satu orang dengan pasal penghasutan. Kapolres Imam Wijayanto mengatakan ke-18 tersangka tidak didakwa untuk kematian dua pekerja; satu pekerja Indonesia dan satu pekerja Tiongkok, yang pemberitaannya ramai sebagai akibat dari peristiwa “bentrok” 14 Januari lalu. Kasus kematian kedua pekerja masih dalam proses penyelidikan, kata Kapolres Imam.

Kapolres Imam berkata 18 tersangka itu tidak termasuk penetapan tersangka Amirullah dan Minggu Bulu.

Agus Salim, pengacara dari FARM, berkata timnya mendampingi 16 orang; tidak tahu tentang dua tersangka lain yang disebut kepolisian.

Tim Project Multatuli telah menghubungi humas P

T GNI via surel contact@gunbuster.co.id untuk meminta keterangan atau melakukan wawancara, tapi PT GNI belum merespons sampai laporan ini dirilis.

Keluarga Jumardin menelepon kami setelah anaknya dipindahkan ke Lapas Poso. Mulyati, ibu Umar, belum mengunjungi lagi anaknya. Jarak Lapas Poso dengan kampung mereka semakin jauh, sekitar 200-an km atau 5 jam jalan darat. Sambil terisak, Yulan ingin adiknya bisa pulang ke rumah setidaknya saat Idul fitri tiba.

Idul Fitri telah berlalu. Umar dan para tahanan lain masih mendekam di penjara.