Ilustrasi

Hari buruh atau sering disebut May Day, berawal dari kaum pekerja yang menuntut kerja 8 jam sehari.

(SPNEWS) Jakarta, Setiap 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia. Penetapan 1 Mei sebagai hari buruh internasional sendiri memiliki asal usul hari buruh tersendiri. Hari buruh atau sering disebut May Day, berawal dari kaum pekerja yang menuntut kerja 8 jam sehari.

Kisah hari buruh bermula dari sebuah unjuk rasa pada 1 Mei 1886 di Heymarket, Chicago, Amerika Serikat (AS). Sekitar 30 ribu pekerja di Chicago turun ke jalan bersama anak-anak serta istri, membuat kota lumpuh. Di seluruh penjuru AS, tak kurang dari 350 ribu diorganisasikan Federasi Buruh Amerika untuk mogok kerja. Kaum pekerja tersebut ramai menyuarakan tuntutan bekerja 8 jam kerja sehari.

Saat itu banyak perusahaan-perusahaan yang memaksa buruh memeras keringat selama 18 jam sehari. Bahkan tradisi bekerja 18 jam sehari disebut sudah terjadi sejak awal abad ke-19. Kondisi tersebut berdampak buruk pada kesehatan hingga berakibat pada rendahnya harapan hidup bagi para buruh. Buruh yang bekerja di bawah jam kerja tidak sesuai aturan perusahaan akan dipotong gajinya. Aksi unjuk rasa ratusan ribu buruh itu berlangsung selama berhari-hari. Bahkan, aksi itu juga diwarnai dengan ledakan bom.

Tragedi di Haymarket berdampak luas. Dari aksi tersebut kemudian diselenggarakannya Kongres Sosialis Internasional II di Paris, Juli 1889. Kongres tersebut menetapkan 1 Mei sebagai hari libur para buruh. Hal itu kemudian tercatat sebagai perayaan hari buruh pertama kali di dunia, dilansir dari laman Industrial Worker of the World. Kini setidaknya lebih dari 66 negara di dunia secara resmi menggunakan 1 Mei sebagai hari buruh internasional.

Baca juga:  TIDAK ADA SAKSI YANG MENERANGKAN TINDAKAN LANGSUNG YANG DITUDUHKAN JPU KEPADA AMIRULLAH DAN MINGGU BULU

Sementara itu, 1 Mei di AS kini diperingati sebagai hari penegakan hukum, sedangkan hari buruh diperingati pada Senin pertama September.

Asia juga memiliki sejarah hari buruh. Pada 1 Mei 1918, serikat buruh Kung Tang Hwee Koan memperingati hari buruh sedunia di Surabaya, Jawa Timur. Konon, perayaan ini menjadi yang pertama di Asia. Hadir kala itu Sneevliet dan Baars dari Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV).

Sneevliet menulis artikel dalam Het Vrije Woord berjudul “Onze eerste 1 Mei-viering” (Perayaan Satu Mei Pertama Kita). Artikel berisi tentang kekecewaannya pada perayaan hari buruh yang digelar pada awal bulan Mei di Surabaya, sebab yang hadir pada perayaan itu hanya orang-orang Belanda, dilansir dari Historia.

Peringatan berikutnya tercatat pada tahun 1921, saat HOS Tjokroaminoto dan muridnya, Sukarno, berpidato di bawah sarekat Islam. Dalam rapat Serikat Buruh Kereta Api dan Tram pada 1 Mei 1923, Semaun berpidato untuk menyebutkan sejumlah permasalahan buruh dan menyerukan untuk melakukan aksi mogok. Sejumlah isu yang disebutkan antara lain, jam kerja, badan artibrase untuk menyelesaikan sengketa kerja, kenaikan gaji, serta larangan PHK sepihak.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, di bawah kabinet Syahrir Mei 1946, peringatan hari buruh bahkan dianjurkan oleh Menteri Sosial Maria Ullfah. Mensos juga meminta agar perusahaan tetap membayar gaji pada para buruh yang memperingati 1 Mei. Peringatan hari buruh terus berlanjut hingga 1 Mei 1950, para buruh mengajukan tuntutan Tunjangan Hari Raya (THR).

Baca juga:  PEMERINTAH DIMINTA TIDAK BURU-BURU BERLAKUKAN SYARAT BPJS DALAM PELAYANAN PUBLIK

Perjuangan buruh akhirnya membuahkan hasil, pada 1954 pemerintah melahirkan Peraturan tentang Persekot Hari Raya, Surat Edaran Nomor 3676/1954 tentang Hadiah Lebaran dan Permen No 1/1961 yang menetapkan THR sebagai hak buruh. Sejak saat itu THR bisa dinikmati oleh buruh hingga saat ini.

Sepanjang masa orde baru, peringatan hari buruh dilarang. Peringatan 1 Mei diidentikkan dengan aktivitas dan muatan paham komunis. Meskipun begitu, aksi sporadis sering muncul dan berakhir dengan penangkapan para demonstran.

Setelah orde baru berakhir, gerakan serikat buruh mulai bermunculan. Lahirnya gerakan serikat buruh didukung dengan ratifikasi konvensi ILO nomor 81 tentang kebebasan berserikat bagi buruh pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Ratifikasi tersebut kemudian diikuti dengan lahirnya UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Pada 1 Mei 2000, ribuan buruh turun ke jalan melakukan aksi. Bahkan, aksi tersebut dilakukan hingga tujuh hari lamanya. Sejak saat itu, para buruh rutin turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka setiap 1 Mei. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional.

SN 09/Editor