Ilustrasi

Merebaknya wabah ke seluruh negara tak terkecuali negeri ini, menyisakan berbagai cerita pilu. Mereka yang terinfeksi, mereka yang harus ditinggalkan kerabat, saudara atau keluarga tak terkecuali buruh yang harus dirumahkan atau bahkan diputus hubungan kerjanya. Sebuah fakta nyata berikut membuktikan.

(SPNEWS) Jakarta, Agus hanya bisa pasrah. Tak ada tunjangan hari raya (THR) dari tempatnya bekerja selama lebih dari dua tahun. Perusahaan memberhentikannya pada 5 Mei 2020, kurang dari sebulan dari jadwal pembagian THR. Perusahaan menyatakan pemberhentian terpaksa dilakukan karena pandemi covid-19.

“Saya katanya dirumahkan, tapi tidak ada keterangan jelas. Alasannya untuk efisiensi (akibat pandemi covid-19). Tidak ada perundingan juga sebelumnya,” kata Agus ditemui di salah satu warung makan di Jalan Magelang Km 14 Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lelaki 29 tahun itu merasa bingung dengan alasan manajemen perusahaan pemasok daging ayam ke perusahaan makanan cepat saji (fast food) itu merumahkan dirinya. Ia merasa seperti diPHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak. Apalagi selang seminggu kemudian ia disuruh mengambil surat pengalaman kerja dan dana pencairan BPJS Ketenagakerjaan. Ia hanya mengikuti. Namun, dana BPJS Ketenagakerjaan yang diterima itu tidak sesuai dalam hitungannya. Setelah lebih dari dua tahun bekerja, dana BPJS Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan yang seharusnya, yang ia terima tak sampai Rp500 ribu.

“Ada sekitar 160 orang senasib dengan saya yang bekerja di sana. Katanya dirumahkan tapi serasa di PHK,” ujar lelaki yang bekerja di bagian produksi ini.

Baca juga:  BURUH DI YOGYAKARTA MENANTI 27 TAHUN UNTUK KOMPENSASI RP 4 JUTA

Sejak tak lagi bekerja di perusahaan tersebut, ia mendapat perlakuan tak adil. Gajinya bulan april sebelum ia di rumahkan sesuai UMR di Sleman, Rp1.846.000, belum dibayarkan. Tak hanya itu, uang makan dan THR yang seharusnya masih menjadi haknya juga tak didapatkan. Bahkan hingga saat ini. Agus bersama Serikat Buruh Peternak (SBP) kemudian mencoba menuntut hak. Mereka berdemontrasi menuntut hak para buruh kepada manajemen perusahaan. Sayang, upayanya tak membuahkan hasil.

“Kami menuntut gaji bulan April agar segera dibayarkan. Kalau di-PHK, kami juga harusnya dapat pesangon,” ungkapnya.

Ia sempat menerima kiriman uang dari perusahaan Rp. 171 ribu di dalam rekening. Saat mencari tahu, kata dia, uang tersebut dinilai gaji seharinya bekerja. Agus tak tahu persis kapan hari kerjanya yang lantas membuahkan gaji itu.

“Katanya itu sudah include sama uang makan puasa. Ada juga dana kompensasi. Kami gak tahu kompensasi soal apa. Besarannya 20 persen dari gaji,” kata dia. Agus merasa diperlakukan sesuka perusahaan sejak awal bekerja. Ia tak tahu statusnya, apakah pekerja kontrak atau karyawan, karena tak ada bukti sahih. Selain itu, memang ada tunjangan masa kerja kendati nilainya Rp2.500 per tahun.

Agus kini harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan istri dan seorang anaknya. Ia pernah menjadi kuli bangunan dengan gaji Rp. 450 ribu per minggu. Ia merasa pendapatan itu jauh dari cukup. Apalagi ia juga mempunyai beban angsuran di bank sebesar Rp. 798 ribu per bulan. Angsuran Agus ada di sejumlah bank.

Baca juga:  PANDEMI CORONA MENYUMBANG NAIKNYA KEKERASAN BERBASIS GENDER

“Jujur, saat ini punya utang. Namanya untuk memenuhi kebutuhan. Ada bon di warung, utang uang ke teman,” kata dia.

Rekan Agus di tempatnya bekerja, Novi, mengalami nasib serupa. Perempuan 32 tahun itu sudah tak lagi bekerja di sana. Novi harus bekerja serabutan agar kebutuhannya bersama suami dan dua anak bisa terpenuhi. Ia berjualan makanan yang dipasarkan secara online atau daring.

“Bersamaan itu juga suami saya dirumahkan dari tempat kerjanya. Lalu motor saya diambil DC (debt collector) karena digadaikan untuk memenuhi kebutuhan,” tutur Novi menambahkan.  Transferan klaim gaji sehari dari perusahaan hanya mendapat Rp. 97 ribu. Novi mengibaratkan Lebaran 2020 menjadi masa yang sangat sulit. Meskipun, ia dan keluarganya berusaha bisa menerima.

Demikian hal dengan Reno, 34 tahun, senasib dengan Agus dan Novi. Setelah bekerja di perusahaan tersebut empat tahun, ia kini menganggur. Ia hanya mengandalkan istrinya untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

 “Saya nyambi ikut bantu kakak di bagian pertukangan sambil bantu garap sawah orang tua,” ujarnya.

Agus, Novi, dan Reno hanya bisa berharap haknya segera dipenuhi pihak perusahaan. Selain itu, mereka juga berharap bisa segera mendapat pekerjaan yang lebih baik.

SN 07/Editor