ITUC Global Rights Index yang dilansir International Trade Union Confederation menggambarkan negara-negara terburuk di dunia bagi pekerja dengan memberi peringkat 139 negara dalam skala mulai 1-5 berdasarkan tingkat penghormatan terhadap hak-hak pekerja.
(SPN News) Jakarta, Indeks tersebut mencakup standar ketenagakerjaan utama yang diakui secara internasional, khususnya hak sipil, hak untuk berunding secara kolektif, hak untuk mogok kerja, hak untuk mendirikan atau bergabung dengan serikat pekerja dan hak untuk berserikat secara bebas. Penilaian ITUC adalah hak-hak pekerja tidak ada di negara diberikan skala nilai 5 dan pelanggaran terjadi secara tidak teratur di negara yang mendapat nilai 1.
Sejak 2015, rata-rata nilai indeks negara-negara di Eropa adalah 2. Sementara negara-negara di Asia Pacific adalah 4. Pada tingkat ASEAN, hanya Singapura yang mendapat nilai 3. Nilai ini mengindikasikan adanya pelanggaran hak secara regular, baik dari pemerintah dan/atau perusahaan yang secara teratur mencampuri hak pekerja. Mereka juga gagal untuk menjamin aspek penting dari hak-hak ini.
Sementara, nilai indeks Indonesia berada di bawah Singapura dan Thailand. Pada 2014 dan 2015, Indonesia memperoleh nilai 4, artinya ada pelanggaran hak pekerja yang dilakukan secara sistematis. Dalam hal ini, pemerintah dan/atau perusahaan terlibat dalam upaya serius untuk menghancurkan suara kolektif pekerja yang menempatkan hak-hak dasar di bawah ancaman. Pelanggaran hak tersebut memburuk setelah 2015, nilai indeks Indonesia turun menjadi 5 pada 2016 dan 2017. Nilai tersebut menandakan tidak adanya jaminan hak bagi pekerja. Dalam laporan bahkan dinyatakan bahwa negara yang mendapat nilai 5 adalah tempat terburuk di dunia untuk bekerja. Para pekerja tidak memiliki akses ke hak-hak mereka dan berada dalam praktik kerja yang tidak adil. Selain Indonesia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam yang juga tidak memberikan jaminan kepada para pekerja. Sejak 2014, indeks empat negara tersebut adalah 5.
Buruknya penilaian ini disebabkan karena kriminalisasi terhadap pekerja dan pemberangusan hak untuk berserikat. Dalam Catatan Akhir Tahun yang dirilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, tercatat selama 2015 ada 244 pengaduan untuk kasus perburuhan. Pada 2016 LBH Jakarta menangani lebih lanjut 41 kasus dengan 570 pencari keadilan. Pada 2017, LBH Jakarta bahkan menerima 223 pengaduan dengan 4.565 pencari keadilan. Salah satu penyebab turunnya nilai indeks Indonesia pada 2016 adalah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aksi protes upah minimum dalam PP No 78/2015 pada Oktober 2015. Serikat buruh mengorganisir protes yang sah dan damai di depan Istana Presiden, tetapi polisi malah menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan demonstran.
Pelanggaran terhadap hak buruh yang terus menerus terjadi, baik yang dilakukan perusahaan atau pemerintah, merepresentasikan absennya negara. Khususnya soal pengawas ketenagakerjaan dan penegakan serta perlindungan hukum terhadap tenaga kerja. Selain itu, negara acap kali melihat gerakan serikat buruh sebagai ancaman, sehingga membuat kasus perburuhan diselesaikan secara represif. Hak buruh/pekerja untuk berserikat dilindungi UU No 21/2001. Namun demikian, kerap kali perusahaan menghalangi hak-hak pekerjanya untuk berserikat (union busting).
Dede Hermawan dikutip dari tirto.id/editor