Tulisan ini terinspirasi dari fenomena THR di lingkungan pemerintah dengan Gaji ke 13, namun ada pekerja dalam lingkungan tersebut, yang cuman bisa ‘Gigit jari’

Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan, bagi pekerja atau buruh, merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja/buruh, dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan. Berdasarkan Permenakertrans No 6/2016, tentang tunjangan hari raya keagamaan, bagi pekerja atau buruh, di perusahaan, pemberian THR keagamaan merupakan kewajiban, yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Setidaknya inilah prolog dari Surat Edaran Menteri Ketenaga Kerjaan Hanif Dhakiri, yang di tujukan kepada Gubernur, Walikota/ Bupati Se Indonesia.
Betapa pentingnya THR buat pekerja, yang telah berpartisipasi melaksanakan tugas sebagai pekerja di suatu perusahaan, bermacam macam ada yang sudah puluhan tahun, belasan tahun atau bahkan baru beberapa bulan, masing masing memiliki hak terhadap THR, sebagai upaya agar pekerja dapat melaksanakan peribadatan atau merayakan hari raya keagamaan dengan sempurna, meskipun THR bukanlah penentu kesempurnaan peribadatan.

Hal ini wajar sebab buat pekerja yang sudah berkeluarga, sementara penghasilanya masih berkisar UMK, terang saja pengeluaran pada saat lebaran akan berlipat lipat, ada yang untuk keperluan mudik, belanja pakaian, belanja keperluan hidangan untuk menyambut tamu dqn. Maka menjadi hal yang lumrah bahwa pada saat hari raya keagamaan konsumsi atau pembelanjaan umat muslim berlipat lipat, hal ini bukan karna sifatnya yang konsumtif dan suka berhura hura.

Namun perlu disadari bahwa Hari raya Idul Fitri adalah hari raya untuk mensucikan diri dari dosa dosa, sehingga yang dilakukan adalah bersilaturrahmi kesanak famili dan tetangga, kerabat, teman dan lain – lain. Oleh sebab itu setiap keluarga muslim umumnya akan siap sedia menyambut tamunya dengan suka cita.

Baca juga:  DISNAKER SERANG PANTAU PERMASALAHAN DI PT NIKOMAS GEMILANG

Dalam kaitanya dengan hal tersebut, maka wajar jika PNS, Tentara, Polisi dll, juga mendapat THR atau gaji ke 13. Juga wajar jika pekerja diperusahaan memperoleh THR sesuai jumlah yang telah ditentukan. Sebab THR ini juga merupakan Hak buat pekerja, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu melaksanakan peribadatan. Hal ini juga dapat menjadi tolak ukur kesejahteraan pekerja dalam suatu perusahaan atau institusi dimana dia bertugas.

Uforia THR bergema dimana – mana, namun ada beberapa sektor pekerjaan, yang cuman “gigit jari” atau melihat saja lingkungannya berbagi THR, namun dengan segala kebesaran jiwanya, sektor pekerja ini seringkali di abaikan, dan tidak pernah merasakan manisnya THR. Meskipun pekerja tersebut sesungguhnya juga berada dekat dengan lingkungan pemerintahan, sungguh sangat ironis.

Berikut ini beberapa jenis pekerjaan yang selama ini, terabaikan oleh pemerintah atau perusahaan yang telah mempekerjakannya, sehingga tiap tahun tidak pernah menerima Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan, antara lain:

1. Pegawai Non PNS, pekerja ini berada tepat di lingkungan pemerintahan, banyak juga pekerja ini yang bernaung di dalam Lembaga Kementerian, ada juga yang bernaung di Pemerintah daerah baik itu Propinsi ataupun Kabupaten, umumnya pegawai ini bekerja di perusahaan yang tidak berorientasi profit.

Baca juga:  UMK KOTA YOGYAKARTA DIUSULKAN NAIK RP 65 RIBU

2. Pemerintah Desa, mungkin sudah tidak asing jika pejabat tingkat desa ini tidak pernah mendapat THR, mungkin karena bukan Pegawai Negeri, atau juga tidak ada dalam regulasi yang mengatur tentang THR buat Pemerintah Desa.

3. Pegawai Honorer pekerja yang bekerja di lingkungan pemerintah langsung, namun statusnya bukan PNS, ini merupakan kelompok pekerja yang paling ironis, sebab pekerja ini cuman melaksanakan kewajibannya saja, namun haknya selalu terabaikan, mulai dari upah, dan lain – lain. Pekerja ini juga tidak pernah memperoleh THR, padahal dilingkunganya teman teman sejawat, sedang bergemuruh merayakan hari raya, dan menerima THR dengan penuh.

Selain dari sektor pekerjaan ini sesungguhnya masih banyak juga jenis pekerjaan, yang THRnya di abaikan oleh pengusaha, yang tidak disebut oleh penulis, mungkin akan di bahas lebih lanjut pada tulisan berikutnya.

Jika semacam ini, maka selayaknya pemerintah khususnya Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia, perlu berbenah diri dalam upaya menegakkan UU Ketenagakerjaan dan tentang pelaksanaan Pembayaran Tunjangan Hari raya keagamaan, dimana penegakan itu perlu ditegakkan disegala bidang, baik di lingkungan Pemerintah, BUMN, ataupun Swasta.

Perjuangan pekerja ini masih panjang, setiap pekerja perlu sadar, bahwa sebagai rakyat Indonesia perlu memperoleh Pekerjaan yang layak, perlu memperoleh Upah yang Layak, perlu memperoleh Hidup yang Layak, sebab hal itu adalah Hak Warga Negara Indonesia.

Ari Hidayat S.E/Editor