Menurut API paling banyak hanya 10 perusahaan tekstil yang bangkrut

(SPN News) Soreang, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menanyakan data yang digunakan sebagai rujukan Tim Akselerasi Jabar Juara (TAJJ) Bidang Ketenagakerjaan yang menyatakan jika hingga kuartal III 2019 terdapat 188 perusahaan tekstil di Jawa Barat merugi. Tim akselerasi juga menyatakan akibat meruginya ratusan perusahaan tekstil itu menyebabkan 68 ribu buruh terkena PHK.

Ketua API, Ade Sudrajat mengatakan, angka 188 perusahaan tekstil yang gulung tikar serta terdapat 68 ribu buruh di PHK hingga kuartal III 2019 ini, terlalu mengada-ada. Kata dia, sepanjang 2019 ini paling banyak ada 10 industri yang gulung tikar atau relokasi.

“Itu kata siapa? Data dari mana? Ini terlalu mengada-ada. Soal buruh yang di PHK sampai 68 ribu juga tidak benar,” kata Ade di Soreang, (07/10/2019).

Menurut Ade, kalau bulan September hingga Oktober pasar domestik memang tengah lesu. Tapi pasar ekspor terus berkembang. Jadi kata dia, kelesuan ini memang terjadi pada industri yang orientasinya pasar domestik saja. Lesunya pasar domestik ini, ujar dia, dipengaruhi oleh terpuruknya harga komoditas seperti sawit, karet, kopi dan beberapa komoditas lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Masyarakat saat ini memilih priotitas belanja kebutuhan primer dan menunda belanja pakaian.

Baca juga:  PELATIHAN PARALEGAL DPC SPN KOTA TANGERANG

“Kalau daya belinya menurun tentu masyarakat lebih mengutamakan hal prioritas seperti kesehatan, biaya pendidikan, bayar cicilan kendaraan dan lainnya. Kan kalau beli pakaian masih bisa ditunda toh baju yang tahun lalu juga masih ada kok. Nah hal seperti ini juga memengaruhi lemahnya pasar domestik,” ujar Ade.

Selain itu, kata Ade, melemahnya pasar domestik juga memang dipengaruhi oleh banjirnya produk tekstil impor dari Tiongkok. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat dihalau begitu saja, karena memang telah menjadi kesepakatan pasar bebas dunia yang tercantum dalam Wold Trade Organitation (WTO). Meski demikian, kata Ade, ada beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk melindungi pasar dalam negeri dan tidak melanggar kesepakatan WTO, yakni dengan menambahkan bea masuk untuk barang impor.

“Ada dua langkah save guard untuk melindungu pasar domestik ini, yakni dengan mengenakan bea masuk terhadap barang impor. Kemudian industri kita yang orientasinya ekspor harus lebih agresif,” katanya.

Baca juga:  PABRIK KAYU LAPIS TUTUP, 1.076 KARYAWAN MENJADI PENGANGURAN

Seperti diketahui, TAJJ untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Hemasari Dharmabumi, menyatakan, hingga kuartal III 201, sebanyak 188 perusahaan tekstil dan produk tekstil di Jawa Barat gulung tikar atau relokasi dari wilayah Jabar.

Hal itu menyebabkan 68 ribu buruh terkena PHK. Kondisi ini terjadi akibat terbukanya keran impor tekstil dari Cina. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan industri menyesuaikan diri dengan teknologi.

“Industrinya sudah tua dan bahkan di tahun 2019 ternyata masih ada alat tenun yang dipakai oleh pabrik garmen di sana yang buka mesin,” katanya sela-sela acara Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate Bandung, Jumat 4 Oktober 2019.

Mayoritas, perusahaan garmen di Jabar yang gulung tikar itu berasal di wilayah Majalaya, Kabupaten Bandung. Kebanyakan, perusahaan yang relokasi berpindah ke Jawa Tengah.

Oleh karena itu, kata dia, Disnakertrans Provinsi Jabar telah melakukan berbagai upaya agar keberadaan pabrik tekstil yang ada saat ini tidak gulung tikar seperti kebijakan pengupahan. Kebijakan ini sedang diupayakan dengan menggalang seluruh stakeholder di bidang garmen.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor