RUU Cipta Kerja secara garis besar sudah menjadi instrumen utama untuk mempercepat Indonesia masuk ke orde otoriter yang baru
(SPN News) Jakarta, pembahasan Omnimbus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR RI terus menuai polemik dan penolakan. Bahkan DPR RI dianggap tidak mengindahkan pendapat publik yang meminta agar DPR RI tidak ngotot untuk membahas RUU tersebut, tetapi DPR RI tidak bergeming dan terus membahasnya.,
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan kualitas DPR begitu buruk karena mengabaikan protes publik. Ini bukan hanya untuk periode sekarang, tapi juga terjadi di periode lalu.
September tahun lalu, gerakan #ReformasiDikorupsi dari masyarakat dan mahasiswa serentak protes ke DPR dan DPRD di kota masing-masing. Mereka mendesak DPR membatalkan beragam regulasi bermasalah. Namun, UU KPK tetap direvisi, RKUHP dan RUU PAS tetap dilanjutkan, dan RUU PKS tak kunjung disahkan. Karena diabaikan pemerintah dan DPR RI, gerakan itu memakan banyak korban: beberapa mahasiswa meninggal, masyarakat sipil direpresi aparat, ada juga mahasiswa yang diancam drop out.
“DPR saat ini tidak berubah. Konsisten meski anggota sudah berganti. Ini artinya yang bermasalah partai politik. DPR yang sebenarnya cuma kepanjangan tangan elite pimpinan parpol,” kata Asfin (15/7/2020).
Asfin lantas menjelaskan pada masa Orde Baru orientasi pemerintah dan DPR selalu mengacu kepada paket pembangunanisme, penjagaan stabilitas nasional dan pengurangan kebebasan sipil, menderegulasi aturan-aturan yang dianggap menghambat, hingga pelemahan langkah pemberantasan korupsi.
RUU Cilaka sudah mencakup semua itu, katanya. “Omnibus law ini memang secara garis besar sudah menjadi instrumen utama untuk mempercepat Indonesia masuk ke orde otoriter yang baru.”
Salah satu contoh konkretnya terdapat dalam pasal 82. Pasal ini berbunyi: “Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian… diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) d Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.” Dalam penjelasan, yang dimaksud dengan “aliran” adalah “paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar negara.”
Ketentuan tersebut berpotensi membatasi hak-hak kelompok minoritas yang sering dianggap menganut ‘aliran sesat’, kata Asfin.
“Ini juga sekaligus melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan.”
SN 09/Editor