Ilustrasi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja
Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA Indonesia) memberikan keterangan tertulis tentang UU Cipta Kerja dan melihat ada potensi kewenangan yang koruptif
(SPNEWS) Jakarta, Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA Indonesia) memberikan keterangan tertulis tentang UU Cipta Kerja dan melihat ada potensi kewenangan yang koruptif, (10/10/2020). Dr Azmi Syahputra dari DIHPA Indonesia menyatakan ada kesulitan mengakses dokumen resmi UU tersebut menjadi permasalahan tersendiri.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang disembunyikan dari isi UU tersebut. Maka perhimpunan dosen melakukan telaah sederhana pada UU itu meski mengandung semangat pembaharuan dalam memberikan kemudahan izin berusaha dan terobosan hukum untuk menangkap peluang investasi.
“Kami memandang bahwa aturan yang termuat dalam Bab X (vide pasal 154 sd 173 UU Cipta Kerja) memiliki potensi bertabrakan dengan muatan berbagai aturan pemidanaan khususnya terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelas Azmi.
Sebab bab ini mengamanatkan pembentukan lembaga baru yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LPI), yang memiliki kewenangan sangat besar dengan tugas utama mengelola dana/aset negara yang diinvestasikan.
Menariknya, lembaga ini hanya bisa dibubarkan melalui undang undang pula (pasal 171 ayat 1). Untuk itu, pemerintah memberikan modal minimal Rp 15 triliun dan dapat menambah modal bagi lembaga ini jika modalnya berkurang (pasal 170 UU Cipta Kerja).
Di UU ini juga menyebut aset/dana negara yang dipindahkan tangankan kepada LPI ini menjadi aset/dana lembaga dan menjadi milik dan tanggung jawab lembaga (vide pasal 157 ayat2).
Yang sangat sumir, dengan empat alasan yang sangat sumir, pejabatnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum jika terjadi kerugian investasi (pasal 163 Jo Pasal 164 ayat 2).
Maka beberapa klausul ini akan menggeser unsur kerugian negara dalam undang undang tindak pidana korupsi. Hal ini karena terminologi uang atau aset negara yang diinvestasikan disini sudah menjadi aset/dana lembaga.
Akibatnya kerugian investasi adalah kerugian lembaga dan bukan kerugian negara sebagaimana selama ini bisa dituntut melalui UU tindak pidana korupsi. Sedang audit terhadap lembaga ini pun hanya dibatasi dilakukan oleh akuntan public (pasal 161).
“Tidak ada pengaturan khusus keterlibatan lembaga negara resmi seperti BPK untuk melakukan audit. Jika diperhatikan unsur kerugian negara, ini menjadi vital dan unsur penting dalam banyak kasus penyidikan korupsi,” katanya.
Contoh kasus skandal mega korupsi Jiwasraya yang sedang disidik atau dituntut Kejaksaan Agung saat ini atau kasus korupsi. Karena kasus ini dapat diperiksa dan diadili berawal dari unsur merugikan uang negara yang dikemas oleh pelaku dengan modus seolah salah investasi yang menimbulkan merugikan keuangan negara.
Kemudian di klausula dalam bab X terkait investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional ini nampaknya ingin membuat kekebalan hukum pada penyelenggara LPI. Serta ingin menggeser unsur kerugian negara menjadi kerugian Lembaga.
“Berarti semua perbuatan yang berpotensi korupsi yang terjadi di lembaga investasi bukan lagi ranah kewenangan aparat penegak hukum,” katanya.
Organisasi ini melihat proses check and balance berupa keterlibatan DPR juga minim dalam pengambilan keputusan investasi ini. Sebab aset negara atau aset BUMN yang diinvestasikan tadi dengan persetujuan lembaga bisa dpindahtangankan secara langsung pada perusahaan tanpa keterlibatan DPR.
Memperhatikan hal ini, maka pemerintah perlu menjelaskan alasan di balik pengaturan eksepsional yang bisa menjadi celah koruptif dalam pengelolaan triliuan uang negara. Apalagi pakar hukum telah sejak lama mengkritisi syarat formil pembentukan Omnibus law UU CK ini yang bermasalah. Sejauh ini, draft akhir UU ini masih tidak bisa diakses publik.
Paling lama dalam waktu tiga bulan semua peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan pelaksana dalam undang undang ini harus sudah ada. Maka potensi ketergesaan perumusan dan rumusan bermasalah akan muncul kembali. Pasca pengesahan UU ini, dalam waktu dekat akan lahir puluhan PP sebagai tindak lanjut pengaturan yang ada dalam UU Cipta Kerja.
Zulkarnain SH MH, Dosen Universitas Widyagama (UWG) Malang, salah satu dari 17 dosen yang mendeklarasikan organisasi ini melihat, jika UU ini dijudicial review-kan, peluang dikabulkan MK bisa jadi kecil.
“Sebab MK adalah pilihannya DPR dan Presiden,” jelas Zulkarnain (11/10/2020). Dikatakan, organisasinya ingin tetap konsisten dalam netralitas keilmuan Hukum Pidana.
Organisasi ini sudah soft launching sejak Juli 2020. Namun secara informal sudah terorganisir informal sejak beberapa tahun lalu. Mereka adalah para dosen FH dari berbagai daerah.
“Dari telaah ini, kami ingin menyadarkan pemerintah dan masyarakat agar sama-sama waspada atas potensi penyimpangan yang akan merugikan negara dan masyarakat jika UU tersebut diberlakukan serta merta,” jawabnya.
SN 09/Editor