Ilustrasi
(SPNEWS) Angkatan kerja di Indonesia saat ini adalah 146 juta orang. Sementara itu yang bekerja pada sektor formal atau sektor yang hubungan kerjanya dilakukan secara formal sebesar kurang lebih 58 juta orang. Artinya angkatan kerja yang masuk pada sektor formal ini, sudah selayaknya menerima upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah daerahnya. Karena jumlah manusia penerima upah ini besar sekali yaitu 58 juta pekerja, maka upah akan sangat menentukan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan rakyatnya bagi suatu negara. Termasuk bisa juga menjadi instrumen untuk mempersempit ketimpangan antar wilayah sehingga bisa mengokohkan tegaknya Negara Kesatun Republik Indonesia
Buruh dan Peningkatan Keadilan Sosial
Sejak dulu, antara buruh (pekerja) dan pemilik modal (pengusaha) selalu akan terjadi pertentangan kepentingan dan karenanya kedua kelompok ini selalu dikatakan bersifat antagonistis. Bahkan pernah dalam sejarah masa lalu pertentangan ini meningkat menjadi aktifitas politik untuk berlomba menguasai negara yang artinya menguasai kebijakan poltik dan dalam suatu gerakan yang paling radikal, maka pertentangan ini terus dibesarkan sehingga diharapkan terjadi suatu revolusi sosial. Dalam revolusi ini, buruh atau rakyat secara umum mengklaim sebagai pemilik seluruh alat produksi melalui kepemilikan oleh negara. Dengan demikian negara atas nama rakyat, berhak menguasai seluruh alat produksi sementara kepemilikan pribadi ditiadakan. Karena cara ini dipandang harus dapat berjalan tanpa menunggu persetujuan seluruh rakyat, maka dijalankanlah sistem komunisme dengan cara yang sering kita sebut sebagai diktatur proletariat.
Namun begitu dalam perkembangannya, sistem ini ternyata mengalami kebangkrutan dan ini bisa disaksikan dengan runtuhnya negara-negara komunis terutama Uni Soviet, Eropa Timur dan sebagainya. Hal berbeda misalnya, mengapa sistem pasar bebas atau persaingan bebas dapat tetap hidup di negara-negara Eropa dan Amerika, adalah karena dalam hubungan buruh-pengusaha telah terjadi suatu perubahan yang sangat fundamental, sehingga tuntutan untuk melakukan revolusi sosial dengan sendirinya terhempas. Berkurangnya hubungan yang antagonistis antara buruh dan pengusaha semakin cepat didorong karena dibolehkannya buruh mengorganisasikan diri untuk meningkatkan posisi tawar kolektif dihadapan pemilik modal.
Hubungan Industrial dan Keadilan Sosial
Pada abad ke-18 di mana mulai berkembangnya kapitalisme industri di Eropa, perlakuan kepada buruh sangatlah menggetirkan. Pada saat itu, paradigma yang berkembang adalah dengan bisa menekan serendah-rendahnya upah buruh, maka akan diperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi pengusaha. Kaum buruh pada masa itu, tidak lebih seperti segerombolan binatang yang terlatih dan mudah diperintah. Karena keadaannya yang sangat miskin dan terpenjara oleh rutinitas kerja, maka kesadaran kaum buruh untuk berorganisasi pun belum banyak berkembang.
Kebanyakan kaum buruh Indonesia sekarang ini, masih belum merasa penting untuk mengorganisasikan diri dalam suatu serikat buruh. Saat ini memang telah ada sekitar 167 federasi serikat buruh. Namun jumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh hanya sekitar 8% dari seluruh buruh yang ada. Keadaan yang serba sulit dan tertutup di tambah lagi dengan ancaman-ancaman dari pengusaha serta kekhawatiran di PHK bila mengorganisasikan diri, telah membuat buruh menjadi apatis. Karena itu, tidak berlebihan jika keadaan buruh di banyak tempat kerja di Indonesia, nasibnya hanyalah sekedar bertahan hidup.
Dengan mengorganisasikan diri dalam serikat buruh, maka posisi tawar buruh akan jauh semakin meningkat. Dengan posisi tawar yang tinggi ini, maka buruh bisa menuntut peningkatan kesejahteraan, baik berupa pendapatan yang layak serta jaminan kesehatan dan keselamatan di tempat kerjanya. Hal ini bisa dicapai secara bertahap dengan melakukan perundingan-perundingan dengan pengusaha. Apabila peran serikat buruh ini telah tumbuh, maka dengan sendirinya peran pemerintah akan berkurang secara bertahap pula, karena sesungguhnya dalam suatu lingkungan kerja, unsur bipartitlah (buruh dan pengusaha) yang seharusnya memainkan peran utama. Kecuali ada hal-hal tertentu yang menyangkut peraturan-peraturan normatif yang dilanggar, maka barulah diperlukan intervensi pemerintah melalui wadah tripartit.
Dalam perspektif gerakan buruh, usaha memanusiakan buruh haruslah datang dari buruhnya itu sendiri. Sangatlah berbahaya mengharapkan usaha memanusiakan buruh ini datangnya dari pengusaha, terlebih lagi budaya feodal bangsa Indonesia masih kuat melekat pada para pengusaha. Ditambah lagi watak dasar manusia yang selalu ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau tepatnya keserakahan, maka akan sulitlah mengharapkan keasadaran pengusaha di Indonesia untuk secara serta-merta memanusiakan buruhnya.
Editor