​Upah Minimum untuk tahun 2018 telah ditetapkan hampir di seluruh wilayah hukum republik ini. Semua Kepala Daerah pun hampir seluruhnya taat hukum tentang penetapan Upah Minimum ini. PP No 78/2015 sebagai dasar acuan penetapan upah sebagaimana himbauan yang secara langsung menjadi perintah penguasa negeri melalui kepanjangan tangannya yaitu Menteri Ketenagakerjaan.

Penetapan upah mínimum selalu menjadi konflik setiap tahunnya. Dasar konflik itu sendiri adalah perbedaan kepentingan baik itu buruh, pengusaha maupun negara yang harusnya sebagai penyeimbang. Kecenderungannya negara lebih pro pengusaha .

Bagi buruh, upah mínimum adalah upah yang ditetapkan dengan tolak ukur biaya hidup terendah dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan upah mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Keinginannya adalah upah itu menjadi sepadan dengan kebutuhan hidupnya bukan hanya diukur dari biaya hidup terendah karena hidup bukanlah ukuran yang statis akan tetapi senantiasa dinamis.

Untuk pengusaha, upah minimum yang ditetapkan setiap tahunnya adalah bagian dari peningkatan biaya produksi sehingga mengurangi laba. Pengusaha prinsip dasarnya yaitu mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya. Maunya mempekerjakan buruh dengan upah seadanya sesuai kemauan pengusaha.
Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dengan pengusaha.

Baca juga:  BANGKIT BERSAMA MENUJU ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Sebuah análisis,

Saat ini pengusaha ingin upah mínimum ditetapkan serendah-rendahnya dengan alasan yang disampaikan kepada negara (sebagai penentu kebijakan) bahwa usaha sedang lesu dikarenakan daya beli masyarakat yang rendah. Padahal analisanya ketika daya beli rendah itu karena upah rendah. Bagaimana mau belanja sementara untuk kebutuhannya saja sudah tidak cukup.

Secara umum, ada tiga komponen yang membentuk ‘harga alamiah’ sebuah komoditi sebelum komoditi itu dilempar ke pasar dan mendapatkan ‘harga pasar; sesuai dengan hukum penawaran-permintaan. Ketiga komponen itu adalah (1) biaya alat-alat produksi; (2) upah buruh (dalam arti luas, bukan hanya upah pokok, tetapi juga upah lembur, tunjangan, serta imbalan buruh lainnya), dan (3) keuntungan pengusaha. Jika biaya alat-alat produksi dan harga alamiah konstan, maka kenaikan upah akan mengurangi keuntungan pengusaha. Dalam situasi ini, pengusaha hanya bisa menaikkan keuntungannya dengan mengurangi upah buruh.

Kenaikan upah akan tidak mengurangi keuntungan jika harga dinaikkan. Tetapi, kenaikkan harga akibat kenaikan upah relatif tidak akan mengurangi daya beli masyarakat, karena kenaikan harga itu diimbangi oleh kenaikan upah dan pendapatan masyarakat. Kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika kenaikan harga itu tidak dibarengi dengan kenaikan upah atau pendapatan masyarakat. Artinya, kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika kenaikan harga itu bersumber dari (1) kenaikan biaya alat-alat produksi dan/atau (2) kenaikan keuntungan pengusaha, yang tidak diimbangi oleh kenaikan upah. Jadi terjawab sudah kenapa daya beli masyarakat rendah.

Baca juga:  KEMNAKER AKAN DORONG KEPATUHAN PERUSAHAAN BAYAR UPAH DAN TERAPKAN STRUKTUR SKALA UPAH

Itu artinya ada hubungan yang saling ketergantungan antara pengusaha dan buruh. Baik itu dalam hubungannya dalam ketenagakerjaan ( tenaga kerja dan pemodal) maupun dalam hal ekonomi (produsen dan konsumen). Tidak akan ada pengusaha kalau tidak ada pekerjanya dan tidak akan ada produsen kalau tidak ada konsumen. Dua aspek penting  inilah yang kemudian menjadi dasar kepentingan politik dan ekonomi yang menyeret negara untuk seharusnya berperan dalam menentukan kebijakan seadil-adilnya. Kaitannya dengan  PP No 78/2015, semua hukum dan aturan perburuhan , semua bisa menilainya. Dan sudah seharusnya bisa bersikap.

Dede Hermawan, Jakarta 2/Editor

.