​Setiap pekerja/buruh di Indonesia pasti mengetahui upah minimum atau populer dengan sebutan UMP, UMSP, UMK dan UMSK. Pada dasarnya upah minimum hanya merupakan salah satu komponen dalam upaya pencapaian kebutuhan hidup layak jadi dengan kata lain Upah minimum itu bukanlah Upah layak. Untuk menentukan besaran upah minimum, maka diperlukan perangkat untuk menghitung “standar kebutuhan hidup” sebagai dasar penetapan upah minimum. Menurut Sidauruk, selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali diberlakukan, Indonesia telah 3 kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi; kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969-1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996-2005 dan kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006-hingga sekarang ini .

Paradigma upah minimum ini telah bergeser dan tidak lagi dimaknai hanya sebatas jaring pengaman (safety net). Dalam prakteknya, upah minimum cenderung dijadikan sebagai upah maksimum. Seakan-akan pengusaha yang telah membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan upah minimum, merasa telah memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan Pemerintah. Harus dipahami bahwa upah minimum hanya untuk buruh yang bekerja dibawah satu tahun dan berstatus lajang. Sedangkan buruh yang telah bekerja lebih dari satu tahun atau yang sudah memiliki keluarga, patut mendapatkan upah di atas rata-rata upah minimum. Inilah keadaan dan pemahaman yang salah yang harus kita bongkar dan kita berantas.Terlebih pemahaman upah minimum kini berlaku umum hampir disemua perusahaan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu kita harus bisa menyadarkan atau memaksa agar pengusaha tidak menetapkan upah hanya berdasarkan dengan ketentuan Upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah tetapi berdasarkan kepada Upah layak yang memang seharusnya diterima oleh buruh, karena itu penting sekali agar sp/sb dapat mendorong atau memaksa agar pengusaha membuat serta menetapkan struktur dan skala upah di masing-masing perusahaannya.

Baca juga:  GALANG KEKUATAN MENOLAK CIKA, BURUH SOWAN KE PBNU

Upah layak yang dipersonifikasikan melalui isu upah minimum, tentu saja membentengi pengembangan konsep mengenai upah layak sesuai dengan tuntutan kaum buruh. Hal ini dibuktikan dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan rill kehidupan kaum buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, hanya menetapkan 60 item komponen kebutuhan hidup layak bagi buruh lajang. Namun masih begitu banyak hal yang membunuh akal sehat terkait perhitungan komponen kebutuhan hidup layak ini. Pertama, kebutuhan hidup buruh yang menunjang baik untuk fisik dan non-fisik yang belum dimasukkan kedalam komponen tersebut. Sebut saja untuk komponen pendidikan, hal yang paling vital untuk membangun pengetahuan buruh. Dalam permenakertrans tersebut, komponen pendidikan hanya berisi majalah/radio dan ballpoint/pensil. Apa itu bisa dianggap layak sebagai sarana untuk membangun pengetahuan buruh? Tentu saja tidak. Item lain seperti buku, televisi, atau sarana untuk akses media online, adalah kebutuhan pengetahuan yang sudah menjadi keharusan saat ini. Begitu halnya dengan alat komunikasi, buruh perlu untuk diberikan kemudahan untuk bersosialisasi dengan ruang sosialnya melalui ketersediaan sarana komunikasi berupa handphone dan pulsa. Kedua, beberapa komponen dalam perhitungan kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, yang tidak relevan lagi dengan kondisi kaum buruh saat sekarang. Sebut saja sarana transportasi dengan menggunakan angkutan umum. Sebagai sebuah konsep, sarana transportasi massal memang menjadi kebutuhan ditengah kemacetan dimana-mana. Namun harus diakui bahwa dihampir seluruh daerah, rata-rata buruh memiliki kendaraan pribadi berupa motor yang memerlukan bahan maker yang nilainya tidak sama dengan biaya angkutan umum. Untuk itu, item yang tedapat dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tersebut, sepatutnya ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Anehnya, setelah beberapa tahun tuntutan revisi komponen kebutuhan hidup layak tersebut diajukan oleh kaum buruh, Pemerintah tetap tidak bergeming dan cenderung menutup mata terhadap keinginan kaum buruh. Karena itu perlu sekali agar buruh memperkuat barisannya agar mempunyai nilai tawar yang tinggi yang pada akhirnya dapat membuat pengusaha maupun pemerintah mau mewujudkan Upah layak yang lebih berkeadilan tidak hanya sekedar Upah minimum yang dijadikan sebagai upah maksimum.

Baca juga:  HAK PEKERJA APABILA NEGARA BERLAKUKAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR

Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed