Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Setelah gagal mempersoalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, sejumlah organisasi buruh tidak patah semangat untuk memperjuangkan undang-undang omnibus law pertama yang dibuat pemerintah dan DPR tersebut dibatalkan. Organisasi buruh dari berbagai sektor industri beserta perorangan pekerja mempersoalkan UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2023 baik secara formil maupun materiil.
Hingga Senin (17/4/2023), Mahkamah Konstitusi telah menerima empat permohonan pengujian formil dan materiil UU No 6/2023. Sebanyak tiga permohonan telah diregister oleh Kepaniteraan MK. Ketiga permohonan itu diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesi/KSBSI (nomor perkara 41/PUU-XXI/2023), sejumlah federasi/organisasi serikat pekerja seperti Persatuan Pegawai Indonesia Power, Federasi Serikat Pekerja Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia dkk (nomor perkara 40/PUU-XXI/2023), serta Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara dan Serikat Pekerja PT Pembangkit Jawa Bali, dkk (nomor perkara 39/PUU-XXI/2023).
Selain itu, masih ada sebuah permohonan yang belum diregister yang diajukan oleh Indonesia Halal Watch yang diwakili oleh Joni Arman Hamid Raihan Keumala selaku ketua dan wakil ketua.
Sebelumnya, tepatnya Jumat (14/4/2023), MK menyatakan tidak menerima permohonan pengujian formil Perppu No 2/2023. Ada enam permohonan pengujian perppu, tetapi semuanya kandas karena permohonan tersebut kehilangan obyek perkaranya. Perppu No 2/2023 telah disetujui oleh DPR menjadi UU sehingga tidak dapat lagi dipersoalkan ke MK.
Dalam perkara No 40/2023 yang diajukan Serikat Pekerja PT PLN dan sembilan organisasi pekerja lainnya, para pemohon mempersoalkan tentang regulasi penguasaan listrik oleh swasta.
Selain organisasi pekerja, permohonan itu juga diajukan oleh 111 pekerja dari sejumlah perusahaan, seperti PT Unilever Indonesia, PT Freeport Indonesia, PT Nipsea Paint And Chemicals Plant Purwakarta, PT Mulia Keramik Indah Raya, PT Cahaya Perdana Plastik, PT Bridgestone Tire Indonesia, dan PT Inoac Polytechno Indonesia. Mereka menyatakan diri sebagai konsumen tenaga listrik yang berkepentingan pada pengelolaan tenaga listrik yang seharusnya berorientasi sebesar-besarnya untuk kesejahteran rakyat. Mereka merasa sangat dirugikan hak konstitusionalitasnya apabila tenaga listrik sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajad hidup orang banyak tidak dikuasai oleh negara dan tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Menurut pemohon, Pasal 42 angka 5 UU No 6/2023 memberi peluang bagi penguasaan listrik pihak selain negara. Hal ini menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami para pemohon. Sebab, pasal tersebut bisa menyebabkan penyediaan tenaga listrik tidak lagi di bawah penguasaan negara sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Salah satu alasan pengujian formil itu adalah tidak adanya alasan kegentingan memaksa dalam penerbitan perppu. Ini setidaknya terlihat dari konsideran UU Cipta Kerja dengan Perppu Cipta Kerja hampir sama, bahkan cenderung seperti salinan.
Para pemohon juga potensial dirugikan manakala ada perbedaan perlakuan tarif antardaerah serta potensi diberlakukannya tarif listrik yang disamakan dengan konsep bisnis untuk semata-mata mencapai tujuan keuntungan. Dengan demikian, ke depan akan timbul potensi kenaikan tarif listrik yang meskipun tetap diregulasikan oleh negara, tetapi ada desakan swasta/asing yang telah menguasai usaha kelistrikan. Ketika negara sudah menjadi tergantung, negara tak berdaya, sehingga konsep negara menguasai bumi, air, dan industri sekadar menjadi nilai konstitusi yang tak bertaring.
Untuk itu, MK diminta membatalkan ketentuan tersebut karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Selain pengujian materiil, UU Penetapan Perppu Cipta Kerja juga dimintakan uji formil. Muhammad Hafidz, Sekretaris Serikat Pekerja Singa Perbangsa, mengungkapkan, setidaknya ada tiga alasan diajukannya permohonan pengujian formil dengan tuntutan pembatalan undang-undang secara keseluruhan karena proses pembentukannya melanggar peraturan perundangan yang berlaku.
Salah satu alasan pengujian formil itu, menurut Hafidz, adalah tidak adanya alasan kegentingan memaksa dalam penerbitan perppu. Ini setidaknya terlihat dari konsideran UU Cipta Kerja dengan Perppu Cipta Kerja hampir sama, bahkan cenderung seperti salinan. Padahal, seharusnya dua produk hukum tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan yang berbeda. Pemohon juga menilai bahwa pemerintah seharusnya memanfaatkan waktu dua tahun yang diberikan MK untuk memperbaiki UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Alasan lainnya adalah bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK yang memerintahkan dilakukannya perbaikan proses pembentukan undang-undang dengan memperhatikan partisipasi bermakna masyarakat. Pemohon menduga penerbitan perppu dilakukan untuk menghilangkan partisipasi bermakna tersebut sebagai upaya untuk meredam gejolak penolakan UU Cipta Kerja.
Hafidz juga menjelaskan alasan lain dilakukannya pengujian formil UU No 6/2023. Alasan terakhir berkaitan dengan waktu pemberian persetujuan DPR yang dilakukan pada 21 Maret 2023. Pemohon menilai, pemberian persetujuan itu tidak dilakukan dalam masa sidang berikutnya (setelah penerbitan perppu).
”Seharusnya, DPR menyetujui perppu sebelum penutupan masa sidang ketiga, yaitu pada 6 Februari 2023. Atas ketiga dasar argumentasi itu, pemohon minta MK untuk menyatakan Pembentukan UU No 6/2023 tidak sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga harus dinyatakan batal secara keseluruhan,” ujar Hafidz.
SN 09/Editor