Ilustrasi

Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) telah resmi disahkan

(SPNEWS) Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dalam Rapat Paripurna. Regulasi itu mengatur tentang kebijakan baru Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Adapun, salah satu tarif pajak yang akan diubah atau naik adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kebijakan tersebut tertuang dalam Pasal 41 UU HKPD.

“Salah satu tarif PDRD yang diubah, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kebijakan tersebut tertuang dalam Pasal 41 UU HKPD,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat Rapat Paripurna DPR RI ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Jakarta, (7/12/2021).

Baca juga:  TUTUP TAHUN DIISI DENGAN DONOR DARAH

Berdasarkan UU HKPD, batas atas tarif PBB Pedesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,5 persen. Tarif ini lebih tinggi dari ketentuan batas maksimal tarif PBB-P2, yang berlaku saat ini sebesar 0,3 persen.

Lebih lanjut dia menuturkan, perubahan pengaturan pajak daerah termasuk tarif akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah secara terukur. Berdasarkan hasil simulasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan PDRD bagi kabupaten/kota diperkirakan dapat meningkat 50 persen dari Rp61,2 triliun menjadi Rp91,3 triliun. Artinya, penerimaan seluruh pemerintah daerah (pemda) bisa bertambah hingga Rp30,1 triliun pada tahun depan.

Dia pun meyakini paket kebijakan baru PDRD, yang dibarengi dengan komitmen daerah untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan akan mampu meningkatkan kemampuan keuangan dan ruang fiskal daerah.

Baca juga:  REKOMENDASI KENAIKAN UMP BANTEN TAHUN 2023

“Perlu dicatat bahwa meskipun terdapat penyederhanaan jenis PDRD, hal tersebut tidak mengurangi jumlah PDRD yang akan diterima daerah,” ujarnya.

Dia menuturkan, salah satu bentuk penyederhanaan adalah reklasifikasi 16 jenis pajak daerah menjadi 14 jenis pajak. Selain itu, rasionalisasi retribusi daerah dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan.

“Ini demi memudahkan optimalisasi dan integrasi pemungutan, dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu dilakukan dalam rangka efisiensi pelayanan publik di daerah,” tutur Sri Mulyani.

SN 09/Editor