Gambar Ilustrasi

Alat pelindung diri (APD) yang diproduksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belum terserap pemerintah serta pasar karena berbagai faktor

(SPN News) Jakarta, (1/5/2020) Alat pelindung diri (APD) yang diproduksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belum terserap pemerintah serta pasar. Padahal diversifikasi dari industri tekstil ini diharapkan mampu menopang kebutuhan alat pelindung tenaga medis di tengah pandemi Covid-19.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan sekitar 50 ribu potong alat pelindung diri sudah diproduksi dan akan bertambah terus setiap hari. “Kalau dihitung dengan bahan bakunya, kami sudah siap memproduksi 1,8 juta potong dan sisanya dalam proses dijahit. Teman-teman Asosiasi sudah bingung, kalau produksi terus tapi tidak ada yang menyerap bagaimana?” ujarnya belum lama ini.

Jemmy mengatakan sebagian perusahaan mulai mendiversifikasi produknya untuk membuat APD, yang berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perindustrian. Produsen sudah mengikuti panduan dan uji coba yang harus dilalui, baik untuk perlindungan level I, II, maupun III, di Balai Besar Tekstil (BBT), Bandung, Jawa Barat. Namun, khusus pengujian untuk level III, hingga saat ini belum tersedia di dalam negeri.

“Kalau level I dan II sebetulnya sudah bisa didistribusikan. Namun sampai saat ini masih menumpuk di gudang-gudang karena masih menunggu PO (purchase order),” ujar Jemmy.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan pengujian di dalam negeri masih untuk anti-air (water repellent) dan bisa dicuci (washable). Sementara itu, lembaga untuk uji anti-penetrasi darah belum tersedia di dalam negeri. Jika mengacu pada hasil panduan bersama pemerintah dan Gugus Tugas, Redma mengatakan sebetulnya industri sudah memenuhi kriteria tersebut.

Baca juga:  SADARI SEDINI MUNGKIN PENYAKIT KANKER

“Produk lokal sudah bisa sampai level III. Hanya, lagi-lagi perlu sertifikasi untuk justifikasi bahwa itu sudah sesuai dengan standar WHO, itu perlu lembaga internasional,” tutur Redma.

Redma mengatakan pemerintah juga perlu memberikan informasi kepada tenaga medis bahwa APD dari industri TPT sudah ada yang memenuhi standar. Namun saat ini produksi masih menumpuk di pabrik karena belum terserap, kecuali yang dijual langsung ke rumah sakit. “Namun jumlahnya tidak banyak,” ujarnya.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan tidak terserapnya APD dari industri tekstil terjadi karena kebutuhan setiap rumah sakit, pemerintah daerah, atau instansi lain belum diintegrasikan. Akibatnya, banyak rumah sakit dan pemerintah daerah membeli sendiri kebutuhan APD. Di sisi lain, produsen APD masih kebingungan mencari pembeli yang benar-benar membutuhkan dan akan melakukan pemesanan.

“Hal ini menyebabkan belum terjadinya koneksi antara rumah sakit dan produsen, sehingga masih banyak rumah sakit atau tenaga medis yang kekurangan pasokan APD,” kata Khayam. “Di sisi lain, penyerapan hasil produksi dalam negeri juga masih terbatas.”

Selain itu, Khayam mengatakan, masih terdapat beberapa industri yang belum melakukan pengujian produknya sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Uji yang harus dilakukan adalah uji penetrasi cairan, darah, dan virus karena keterbatasan laboratorium uji dan alat uji di dalam negeri.

Baca juga:  MENCARI PENYELESAIAN MASALAH PELAYANAN BPJS KESEHATAN DI SULAWESI TENGAH

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, untuk standar APD, harus betul-betul menjamin proteksi tenaga kesehatan dari virus sehingga dibutuhkan hasil uji lembaga internasional. Menurut Wiku, hasil uji BBT masih memiliki keterbatasan lantaran harus diuji lembaga internasional. ”Kami tidak boleh memberikan risiko kepada tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas,” kata dia.

Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Budi Sylvana mengatakan sudah ada beberapa perusahaan yang mengajukan penawaran APD kepada pemerintah, termasuk produk diversifikasi dari industri tekstil. Pemerintah masih melakukan analisis seluruh penawaran yang masuk untuk menyusun daftar rencana pembelian atau purchase order. Meski begitu, pemesanan APD juga harus mengikuti standar yang telah ditetapkan dan menyesuaikan kebutuhan di lapangan.

“Kami memang belum menyusun PO, sedang mengarah ke sana. Tidak ada persyaratan lain, hanya teknis administrasi untuk pengadaan. Tidak akan lama lagi,” ujar Budi.

Kementerian Kesehatan sudah mempermudah penerbitan izin edar bagi industri yang memproduksi APD bagi tenaga medis. Namun izin edar akan terbit asalkan APD memenuhi ketentuan standar. “Bagaimana kami tahu kualifikasi minimalnya terpenuhi. Itu yang harus didaftarkan kepada kami supaya kami tahu spesifikasinya apa saja yang mereka tawarkan,” tutur Budi.

SN 09/Editor