Ilustrasi

Kemnaker abaikan Surat Revisi UMP DKI Jakarta 2022

(SPNEWS) Jakarta, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) enggan menjawab surat revisi upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 yang dilayangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Hal itu terungkap saat Komisi B DPRD DKI Jakarta meminta klarifikasi Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah terkait revisi kenaikan UMP dari yang awalnya 0,85 persen atau Rp 37.000 menjadi 5,1 persen atau Rp 225.000.

Dalam rapat itu, Andri mengungkapkan UMP direvisi karena adanya polemik di kalangan buruh terhadap nilai UMP yang hanya naik 0,85 persen pada 21 November 2021 lalu.

Penetapan UMP itu tercantum dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1395 tahun 2021.

“Sehari setelah pengumuman tersebut Gubernur mengeluarkan surat kepada Kementerian Ketenagakerjaan,” ujarnya, (27/12/2021).

“Jadi, sehari setelah diumumkan tanggal 21, pak gubernur mengirimkan surat terkait masalah kaji ulang dengan nomor 533/85.15,” imbuh Andri.

Andri mengatakan, alasan Anies ingin merevisi UMP 2022 karena dia melihat kenaikan sebesar 0,85 persen tidak layak dan tidak memenuhi rasa keadilan. Anies membandingkan dengan kenaikan UMP di daerah tetangga yaitu Bekasi yang mampu menaikan UMP sebesar 4,8 persen.

Baca juga:  PERSOALAN INVESTASI INDONESIA TAK BISA SELESAI HANYA DENGAN UU CIPTA KERJA

“Di sini Gubernur menyatakan bahwa intinya sebagai wakil pemerintah pusat menjalankan PP (Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan) tersebut, tetapi sebagai kepala daerah juga harus bisa merespon apa yang menjadi aspirasi warga masyaraka, makanya pak Gubernur membuat surat tersebut,” jelas Andri.

Beberapa hari kemudian, kata Andri, buruh menggelar demonstrasi besar-besaran di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat pada 27 November 2021 lalu. Di hadapan para buruh, Anies mengklaim pihaknya masih menunggu jawaban dari Kemnaker terkait usulan revisi kenaikan UMP.

“Tanggal 3 (Desember) kami Kadisnaker seluruh Indonesia dikumpulkan, dan disampaikan bahwa masih menunggu kajian dari Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan,” imbuhnya.

“Di situ saya juga menanyakan terkait surat kami, surat Gubernur mempertanyakan. Nah waktu itu tanggapannya kementerian (Kemnaker) tidak menjawab, (tapi) yang menjawab nanti Kementerian Dalam Negeri, yah sudah kami tunggu,” tambah Andri.

Hingga kini, kata Andri, Pemerintah DKI terus berkoordinasi dengan stakeholder lain di antaranya dengan Dewan Pengupahan Daerah yang terdiri dari pengusaha, pemerintah dan buruh. Andri juga sudah berkomunikasi langsung dengan Apindo dan Kadin DKI Jakarta untuk meminta jawabannya terkait kenaikan UMP tersebut.

Baca juga:  BANSOS KEMNAKER MEMBANTU PEKERJA YANG TERDAMPAK COVID - 19

“Sudah ada pembicaraan setengah kamar dengan Apindo, dengan Kadin, serikat pekerja,” ungkapnya.

Dari itu, Andri mengklaim Apindo dan Kadin tidak mempersoalkan kenaikan UMP berkisaar 5-10 persen. Hanya saja, organisasi tersebut menegaskan tetap menjalankan Peraturan Pemerintah PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Di situ (rapat setengah kamar) ketemulah angka tetap. Apindo dan Kadin bilang kami taat PP 36, kalau aturan 5 persen 10 persen it’s okay. Bahkan, unsur serikat naik tuh tadinya 3,57 persen naik jadi 5,1,” kata Andri.

Di sisi lain, Pemerintah DKI juga meminta kajian dan survei dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait perekonomian di Jakarta. Pemerintah daerah juga menanyakan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta terkait pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sehingga kenaikan UMP yang cocok mencapai 5,1 persen.

“Atas dasar itu kami merevisi SK Gubernur dengan melakukan revisi UMP dengan menggunakan data BPS itu 5,1. Tapi sekali lagi, perlu saya luruskan sudah ada pembicaraan dengan Apindo, Kadin, Serikat Pekerja dan setelah itu kami kumpulkan di Dewan Pengupahan,” jelas Andri.

SN 09/Editor