(SPN News) Jakarta, Sesuai amanat UU No 10/2004, Surat Edaran (SE) sebenarnya tidak lagi bisa dikualifisir sebagai peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktek, Surat Edaran seringkali dikeluarkan dengan membuat norma yang menabrak peraturan perundang-undangan.

Surat Edaran mestinya hanya sekedar menjelaskan atau memuat petunjuk teknis suatu peraturan umum. Tetapi tak jarang, Surat Edaran membuat norma baru yang akhirnya membingungkan. Apalagi kalau sampai Surat Edaran itu lebih dipatuhi bawahan di pejabat pembuat Surat Edaran ketimbang peraturan perundang-undangan. Kadang-kadang memang seperti peraturan, tapi sifatnya intern saja, ujar Prof. Maria.

Sehubungan dengan itu, Guru Besar Ilmu Perundang-Undang Universitas Indonesia Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa Surat Edaran tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Meskipun muncul kesan sebagai peraturan, sifatnya hanya untuk kalangan intern.

Dari segi materi muatan, jelas Prof. Maria, biasanya sebuah Surat Edaran menjelaskan atau membuat prosedur untuk mempermudah, atau memperjelas peraturan yang mesti dilaksanakan. Karena sifatnya hanya memperjelas, maka Surat Edaran tidak boleh menabrak apalagi menegasikan peraturan perundang-undangan. Meskipun jarang menemukan Surat Edaran yang demikian. Surat Edaran tidak boleh menabrak UU, PP, atau Perpres.

Baca juga:  UNJUK RASA SPN NTB TUNTUT REFORMASI KETENAGAKERJAAN

Prof Wila Chandrawila mengatakan “lingkup sebuah Surat Edaran mestinya hanya internal dan tidak mengikat pihak luar. Cuma dalam praktek ada Surat Edaran yang menyangkut kepentingan pihak ketiga. Seperti contohnya Surat Edaran Mahkamah Agung yang meniadakan keberlakuan sebagian KUH Perdata. Semestinya Surat Edaran tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukan dan hierarkisnya lebih tinggi, apalagi sampai meniadakan.

Prof. Wila menduga Surat Edaran semacam itu dikeluarkan bisa karena faktor kesengajaan, bisa pula karena ketidaktahuan. Disebut kesengajaan karena pejabat tertentu menganggap punya diskresi untuk membuat norma tertentu. Secara hukum, pejabat boleh saja membuat diskresi asalkan terhadap apa yang belum diatur. Kalau sudah diatur, tidak boleh. Itu namanya ultra vires.

Baca juga:  AKIBAT PANDEMI COVID-19, KONTAINER MENJADI LANGKA

Faktor ketidaktahuan lebih disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman pejabat yang menerbitkan Surat Edaran terhadap peraturan perundang-undangan. Itu sebabnya pejabat juga perlu melakukan harmonisasi peraturan sebelum menerbitkan regeling atau beschiking.

Lalu, kalau ada SE bertentangan dengan Keppres, apa yang bisa dilakukan? Jika pandangan Prof. Maria dipakai bahwa Surat Edaran bukan peraturan perundang-undangan, maka prosedur judicial review sulit dilakukan. Tetapi kalau sifat Surat Edaran itu beschiking yang individual dan konkrit, pihak yang dirugikan bisa menggugat ke PTUN dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Edito