Gambar Istimewa
(SPNEWS) Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah atau Walhi Sulteng menggelar aksi turun ke jalan (19 Februari 2024). Aksi dilakukan seiring banyaknya kecelakaan kerja di kawasan smelter nikel di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Titik aksinya di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) dan Polda Sulteng
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng Aulia Hakim mengatakan ada empat tuntutan yang disuarakan dalam aksi tersebut. Pertama, perbaikan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di kawasan IMIP. Kedua, mendesak Polda Sulteng, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka data hasil investigasi ledakan di PT ITSS. Adapun insiden yang terjadi pada 24 Desember 2023 itu menyebabkan 21 pekerja meninggal.
“Tuntutan ketiga, lakukan audit K3 dan alat produksi di dalam kawasan industri nikel,” kata Aulia. “Terakhir, kami meminta agar seluruh perusahaan yang melanggar K3 di kawasan industri nikel diberi sanksi tegas.”
Aksi “Hilirisasi dan Kecelakaan Kerja yang Tidak Ada Akhirnya di Sulawesi Tengah” ini sekaligus sebagai respons atas penetapan dua pekerja sebagai tersangka kasus ledakan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS).
Aulia mengatakan insiden ledakan tungku smelter, terutama yang terjadi di PT ITSS, mestinya tidak hanya menjerat buruh ke ranah pidana. Menurutnya, justru manajemen atau perusahaan yang mestinya mendapat hukuman lantaran mereka yang bertanggung jawab atas seluruh aktivitas kerja di dalamnya. “Sedangkan buruh, mereka hanya bekerja atas instruksi atasan,” ujar dia.
Namun, Polda Sulteng menetapkan dua tenaga kerja asing (TKA) Cina sebagai tersangka pada 10 Februari lalu. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Kombes Djoko Wienartono mengatakan kedua tersangka ialah pekerja berinisial ZG dan Z. ZG merupakan pengawas keuangan atau supervisor finance PT. Zhao Hui Nikel, yang diminta untuk membantu PT ITSS. Sedangkan Z menjabat sebagai Wakil Supervisor PT Ocean Sky Metal Indonesia atau OSMI.
Karena itu, Walhi Sulteng menyesalkan hal tersebut. Sebab, menurut Aulia, temuan Walhi Sulteng di lapangan menunjukan adanya indikasi kelalaian perusahaan.
Misalnya, tidak adanya pengawas safety yang mendampingi pekerja saat memperbaiki tungku smelter PT ITSS yang meledak. Bahkan, pekerjaan itu disinyalir tanpa izin kerja dari supervisor. Padahal, dokumen izin tersebut didukung didukung dokumen lain, seperti Job safety analysis (JSA) dan toolbox checklist ketika bekerja di areal yang memiliki risiko tinggi dan di ruangan terbatas.
“Kategori pada pekerjaan di smelter ialah Hot Work Permit dan Cold Work Permit. Jika dasar dokumen ini dipakai dalam prosedur pekerja, las oxy asetilin tidak akan digunakan,” tutur Aulia.
Walhi Sulteng, kata dia, juga menemukan indikasi kelalaian perusahaan karena di area kejadian ledakan tidak ada hydrant maupun jalur evakuasi. Ia mengatakan hanya ada satu tangga darurat di sana. Karena itu, tidak adanya infrastruktur keselamatan di area kejadian ledakan disinyalir menjadi salah satu pemicu banyaknya korban jiwa dalam insiden ledakan tungku PT ITSS.
“Karena sebagian besar korban, apalagi yang meninggal di tempat, karena terjebak. Orang gesek-gesekan, apalagi jarak lantai satu ke atas ada 8 meter,” tutur Aulia.
Kendati begitu, PT IMIP enggan menjawab pertanyaan Tempo soal standar operasional prosedur (SOP) perbaikan tungku smelter, absennya petugas safety dan penggunaan las asetilin, serta tidak adanya jalur evakuasi dan hydrant di area kejadian. “Silakan konfirmasi ke kepolisian, ya. Terima kasih,” kata Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan.
SN 09/Editor