(SPNEWS) Jakarta, perseteruan antara buruh dengan pengusaha telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dan perseteruan itu akan semakin terekpos menjelang peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang memang dilatarbelakangi oleh peristiwa berdarah Hypermart yang menimbukan korban jiwa yang tidak sedikit dikalangan buruh.
Sedikitnya ada tiga latar belakang mengapa konflik buruh-pengusaha terus terjadi, bahkan sejak zaman sebelum dunia modern lahir. Ibaratnya, seperti dua kutub yang tidak mungkin disatukan.
Pertama, terkait dengan filosofi ekonomi antara pengusaha dan buruh. Efisiensi dan mencari untung sebesar-besarnya selalu menjadi target pengusaha, di mana pun. Ini lumrah, alamiah, dan memang begitu seharusnya.
Buruh memiliki pandangan berbeda. Filosofi mereka: bisa hidup layak, aman secara finansial, sejahtera, dan mendapat penghasilan tinggi. Apalagi, mereka percaya bahwa kayanya pengusaha muncul dari keringat buruh.
Kedua, pemilik modal menganggap buruh adalah komoditas, bukan aset yang bernilai tinggi. Sebagai komoditas, buruh tidak ada bedanya dengan produk yang dihasilkan, termasuk nilainya. Semakin banyak produk yang dihasilkan, semakin murah harga produk itu. Hukum pasar ini pun berlaku buat buruh.
Sementara, buruh menilai diri mereka adalah aset perusahaan seperti batu berharga yang harus dibayar mahal. Karena aset, gaji mereka pun harus layak dan bagus, hidup keluarga harus terjaga.
Ketiga, buruh ingin hari-hari dalam kehidupan mereka dimasukkan sebagai faktor pendukung penentuan gaji. Jika mereka bekerja lima jam sehari, mereka menganggap bukan faktor lima jam itu yang dihitung, tapi jam-jam lainnya juga.
Tak heran, jika kemudian buruh membuat daftar kebutuhan hidup layak (KHL) puluhan, bahkan sempat di atas angka seratus. Pengusaha? Mereka memandang nilai buruh berdasarkan hukum permintaan dan penawaran tadi alias hukum pasar.
Jadi, tak heran jika sampai sekarang konflik buruh dan pengusaha masih terus terjadi. Dari fitrahnya, perbedaan di antara mereka memang sudah sangat tajam.
Dan pertikaian ini menjadi semakin tajam, ketika pemerintah yang seharusnya dianggap netral dan menegakkan peraturan pada pelaksanaannya dianggap lebih memihak pada salah satu pihak, yaitu pengusaha. Sehingga buruh selalu merasa mereka hanya menjadi korban ekploitasi dari pengusaha dan pemerintah. Hal ini akan berlangsung terus menerus, sepanjang buruh tidak mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupannya.
SN 09/Editor