Ilustrasi Istimewa

Pemerintah sedang menggodok RUU tentang Perubahan UU Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Salah satunya soal syarat pailit yang akan diperketat.

(SPNEWS) Jakarta, Pemerintah saat ini sedang menggodok RUU tentang Perubahan UU No 37/2004 Kepailitan dan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Salah satunya soal syarat pailit yang akan diperketat.

Hal itu tertuang dalam draf RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikutip dari website Kemenkum HAM, yakni peraturan.go.id, (27/11/2020).

Dalam UU No 37/2004, syarat pailit hanya ada dua:

  1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur.
  2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Ternyata syarat di atas sangat longgar karena tidak ada batas minimal utang yang dimaksud. Mau besar atau kecil jumlah utang, sepanjang tidak membayar, maka kreditur bisa mengajukan PKPU/pailit kepada debitur.

Baca juga:  BURUH SIDOARJO MENUNTUT KENAIKAN UMK DAN UMSK 2021

Seperti pada kasus Lion Air, yang digugat PKPU karena mempunyai utang Rp 23 juta, padahal aset Lion Air ratusan miliar rupiah. Akhirnya PN Jakpus menolak gugatan tersebut. Ada juga gugatan pailit yang diajukan jasa keamanan terhadap pengembang apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Utang yang belum dibayar sebesar Rp 500 jutaan, padahal aset apartemen dan tanah mencapai triliunan rupiah.

Selanjutnya, RUU Kepailitan dan PKPU akan menambah syarat minimal utang debitur. Karena begitu mudahnya orang menggugat pailit, RUU Kepailitan dan PKPU kini menambah syarat minimal utang debitur. Pasal 2 ayat 3 RUU Kepailitan dan PKPU menjadi:

Dalam hal permohonan pernyataan pailit dimohonkan oleh Kreditor, batas minimum Utang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Namun angka minimal Rp 1 miliar juga bisa berubah. RUU itu menyebut ke depannya angka minimal utang debitur bisa diubah cukup dengan Peraturan Pemerintah (PP), bukan harus lewat revisi UU Kepailitan dan PKPU.

Baca juga:  NASIONALISME DALAM JIWA ANGGOTA PSP SPN  PT NIKOMAS GEMILANG

“Perubahan mengenai batas minimum Utang untuk dimohonkan pernyataan pailit oleh Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah,” demikian bunyi Pasal 2 ayat 4.

Sepanjang berlakunya UU 27/2004, terjadi dinamika di masyarakat. Banyak perusahaan yang gagal bayar tetapi sahamnya dimiliki oleh masyarakat. Perusahaan itu membawa kabur/mencuci uang nasabah sehingga perlu dipailitkan. Seperti kasus First Travel atau PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) yang menghimpun dana Rp 476 miliar dari 6.000-an nasabah.

RUU ini memunculkan pasal baru, yaitu kejaksaan bisa menjadi pihak yang memohonkan pailit demi kepentingan umum.

“Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas yang tidak memiliki izin dari OJK,” demikian penjelasan pasal terkait.

SN 09/Editor