Gambar Ilustrasi
RUU Cipta Kerja menghidupkan kembali kewenangan Pusat yang sentralistik ke Presiden
(SPN News) Jakarta, dalam RUU Cipta Kerja tentang administrasi pemerintahan membuka peluang bahwa kekuasaan dan kewenangan Presiden akan semakin kuat. Dalam RUU Cipta Kerja tentang administrasi pemerintahan permasalahan yang muncul adalah: penataan kewenangan Presiden dalam kaitannya dengan sistem ketatanegaraan Presidensial, pengaturan diskresi yang terlalu lebar dengan mekanisme kontrol yang tidak memadai, pengubahan konsep fiktif positif yang berpotensi menjadi bom waktu, formil administrasi Pemerintahan yang menghilangkan kontrol negara dalam memudahkan investasi dengan menghapuskan persyaratan yang penting dalam perizinan, dan subtansi dalam konteks otonomi daerah di mana akan terjadi penumpukan kekuasaan ke pusat yang dipegang langsung oleh presiden
Pasal 164 RUU Cipta Kerja sesungguhnya cukup benar secara paradigma bahwa kewenangan-kewenangan yang dicantumkan di berbagai peraturan perundang-undangan seharusnya merupakan kewenangan Presiden. Secara doktrin ketatanegaraan Sistem Presidensial, hal itu menjadi menarik. Kecuali ketika mengatakan bahwa termasuk kewenangan Pemerintah Daerah. Hal ini dapat menjadi perdebatan karena Pemerintah Daerah masih merupakan entitas tersendiri di dalam UUD. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah Pemda merupakan bagian dari Pemerintah Pusat seperti doktrin kaku negara kesatuan, atau atas nama otonomi daerah sebenarnya merupakan dua hal yang terpisah.
Pasal 165 RUU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan di dalam UU Administrasi Pemerintahan. Di satu sisi, pasal ini menghilangkan hambatan konsep undang- undang atas penggunaan diskresi. Diskresi dapat diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan, tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang- undang. Tetapi dalam UU Administrasi Pemerintahan terdapat ketentuan syarat sahnya diskresi adalah ketika tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Hal ini memang mempersempit ruang diskresi yang seharusnya lebih lebar karena dasar sifat diskresi adalah terkadar against the law Di sisi lain, RUU ini menjadikan diskresi terlalu lebar dengan mekanisme kontrol yang tidak memadai. Hal ini berbahaya terhadap adanya potensi penggunaan diskresi yang tidak tepat dan bertujuan koruptif.RUU ini memformulasi kontrol yang lebar, karena kontrol yang tercipta adalah dengan menaikkan perizinan penggunaan diskresi ke atasan secara langsung yaitu Presiden. Dapat dipastikan bahwa Presiden sebagai atasan tertinggi tidak akan memiliki kontrol penggunaan diskresi. Tatkala Presiden telah berkehendak, maka dengan sendirinya diskresi itu pasti akan berjalan walaupun dengan tujuan yang tidak benar.
RUU Cipta Kerja mengubah model konsepfiktif positif yang di UU Administrasi Pemerintahan yang semula 10 hari menjadi lebih singkat hanya 5 hari. Perubahan ini menyimpan bom waktu. Konsep dan kesiapan PTUN terhadap konsep fiktif positif ini juga belum memadai.
Negara tidak boleh bersifat menjadi penjaga tetapi harusnya bersifat pembantu. Tidak boleh menjadi penyumbat tetapi harusnya memperlancar. Tapi dalam kaitan ini, menjadi tidak wajar jika demi menjadi pembantu, membuka kran kontrol menjadi terlalu bebas. Di satu sisi perizinan dan syarat- syarat administratif harus dipermudah dan birokrasi yang koruptif yang menghambas perlu dihilangkan. Namun, penyelesaiannya tidak dengan menghilangkan control dan memudahkan perizinan dengan menghapuskan persyaratan penting dalam perizinan.
Pasal 166-170 RUU Cipta Kerja merupakan pasal-pasal penting karena cenderung menyapu bersih soal keseluruhan pembagian urusan pemerintah konkruen dalam UU Pemerintah Daerah. Pasal ini akan memunculkan perdebatan mendasar soal konsep negara kesatuan yang bersifat sentralistik bertabrakan dengan konsep konfederasi yang sangat kuat di daerah, termasuk konsep federalisme yang lebih merupakan perimbangan antara konsep kekuasaan Pusat dan Daerah.
Menghidupkan kembali kewenangan Pusat yang sentralistik ke Presiden akan sangat berbahaya karena berimplikasi dapat menumpukkan kekuasaan itu ke Pusat dan dalam hal ini langsung dipegang oleh Presiden.
SN 09/Editor