Walaupun ruangan yang ada sempit, tetapi keberadaan ruangan laktasi tersebut sangat berguna bagi pekerja yang sedang menyusui
(SPN News) Bogor, Di ruangan berukuran sekitar 2 x 1 meter dan hanya dibatasi oleh tirai itu, Putri Melanie (24 tahun) menggunakan alat pumping ASI pada jam istirahat kerja. Ia duduk di kursi plastik, yang dihadapannya terdapat dispenser dan kulkas pendek.
Di sebelah kanannya terdapat galon yang diletakkan bersandar dinding. Sedangkan sebelah kirinya terdapat kulkas besar yang berada dekat tirai masuk ruangan kecil itu.
“Kulkas yang besar sebenarnya untuk ASI, tapi lagi rusak, makanya simpen di kulkas ini dulu,” kata Putri saat duduk di dekat galon, dan berhadapan dengan dispenser. Tangannya menunjuk kulkas tua berukuran besar bertuliskan “Khusus untuk ASI” yang tidak lagi berfungsi.
Ruang laktasi kecil tersebut merupakan fasilitas sederhana untuk menyusui bagi para buruh perempuan di pabrik garmen PT Trinunggal Komara, Cibinong, Kabupaten Bogor. Ruangan itu berada di dalam klinik kesehatan perusahaan dan hanya ditutupi oleh tirai.
Meskipun tidak cukup layak untuk memompa ASI di sana, namun menurut Putri ini sudah lebih dari cukup. Lagipula tidak banyak pekerja yang menggunakan fasilitas tersebut. “Saya kan nggak bawa bayi saya, cuma pumping aja cukup lah tempatnya,” ujar Putri.
Ruang laktasi sederhana itu menjadi salah satu hak maternitas yang telah terpenuhi di pabrik tersebut. Selama empat tahun bekerja sebagai karyawan kontrak, kemudian hamil dan melahirkan empat bulan yang lalu, Putri merasa semua hak-hak maternitasnya di sini cukup terpenuhi. Dia bekerja lebih ringan saat sedang hamil, dan diberi cuti melahirkan lalu kembali bekerja dengan perpanjangan kontrak saat sudah pulih kembali.
Sutiyah (40 tahun) yang bekerja di sana selama 20 tahun juga merasa mendapatkan keringanan saat bekerja dalam keadaan hamil. Saat sedang menjalani kehamilan, ia tidak perlu bekerja dengan mesin cutting yang berat, dan diberikan pekerjaan yang ringan seperti membuat pola pakaian. “Jadi sesama pekerja memberi keringanan bagi yang hamil,” kata Sutiyah.
Kemudian memasuki masa menyusui anak keduanya seperti sekarang, Sutiyah dan buruh yang memiliki kondisi yang sama diberikan tambahan istirahat selama tiga puluh menit, dari pukul 11.30 hingga jam 13.00 WIB. Dalam waktu satu setengah jam dinilai cukup untuk menyusui anak serta makan siang.
“Kalau saya nyamperin anak saya di tempat momongnya, seberang jalan ini, buat nyusuin,” kata Sutiyah yang menitipkan bayinya yang berusia 8 bulan pada warga setempat di dekat pabrik selama beberapa jam.
Untuk memastikan kondisi kehamilan dan anak dalam keadaan sehat, kedua buruh pabrik ini menggunakan BPJS Kesehatan dan ke Bidan untuk kontrol kandungan. Perusahaan sendiri memiliki klinik dengan seorang suster dan dokter umum, namun keduanya hanya untuk menangani penyakit ringan saja.
Untuk penyakit berat ataupun kontrol kandungan, semua karyawan menggunakan BPJS Kesehatan. Fasilitas dari BPJS Kesehatan pun tidak mengkover seluruhnya, sehingga mereka lebih sering menggunakan biaya sendiri.
Sayangnya, ketika ditanya mengenai stunting atau gizi kronis yang menyebabkan ukuran kerdil pada anak, keduanya mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Selama dua kali kehamilan, Sutiyah bahkan tidak mengunjungi Posyandu atau Puskesmas.
“Saya selalu ke Bidan, karena kan pagi harus kerja, nggak bisa ke Posyandu. Saya juga nggak pernah diberi tahu apa itu stunting,” ungkap Sutiyah.
Menurut Ketua Pengurus Serikat Pekerja, Amin, perusahaan tersebut memang tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai ibu menyusui atau pencegahan stunting yang kini sedang digalakkan di Kabupaten Bogor. Padahal di pabrik ini terdapat sekitar 700 buruh dengan 80 persen merupakan perempuan.
“Kalau ada sosialisasi biasanya perwakilan pekerja diundang, tapi untuk mengenai kesehatan ibu hamil itu belum pernah,” ungkap Amin.
Hak- hak maternitas para pekerja perempuan disini memang sudah cukup terpenuhi. Akan tetapi hak-hak tersebut tidak mudah diperjuangkan, dan umumnya berdasarkan solidaritas dan kekeluargaan para pekerja.
“Di sini kekeluargaannya tinggi, makanya para pekerja bisa saling toleransi, bisa membantu yang hamil. Makanya hak maternitas bisa terpenuhi,” kata Wakil Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Bogor Muhammad Harris.
Perusahaan tersebut merupakan salah satu yang telah cukup memenuhi hak maternitas para pekerja perempuan. Ukurannya pun kecil karena memang jarang digunakan oleh para pekerja.
Namun menurut Harris ini cukup lumayan, karena masih banyak perusahaan lainnya yang bahkan tidak menyediakan ruang laktasi. “Belum bisa dikatakan sangat layak. Ada yang sudah ada yang belum. Tapi memang harus ada pojok laktasi, karena ini garmen,” kata Harris.
Dia juga berharap sosialisasi kesehatan dan stunting dapat mencapai ke seluruh perusahaan garmen yang memiliki mayoritas pekerja perempuan.
SN 09 dikutip dari Republika.co/Editor