Gambar Ilustrasi
Pemerintah dan DPR dianggap tidak menghiraukan tuntutan masyarakat
(SPN News) Jakarta, rohaniawan/rohaniawati dari berbagai gereja menyuarakan penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja. Mereka berpendapat bahwa banyak masalah substansi dalam RUU ini. Terlebih, akan mengancam keselamatan lingkungan hidup dan mengabaikan prinsip keadilan sosial.
“Kami para rohaniawan/rohaniawati dari berbagai gereja di Indonesia dengan ini menyatakan sikap, mendesak pemerintah dan DPR agar membatalkan agenda pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang direncanakan pada 16 Juli 2020. Mendesak Presiden RI Joko Widodo agar menarik Omnibus Law RUU Cipta Kerja,” ujar perwakilan rohaniawan/rohaniawati sekaligus Kepala Departemen Litbang Huria Kristen Indonesia (HKI) Pendeta Adventus Nadapdap dalam keterangan tertulis, Rabu (15/7/2020).
Pemerintah dan DPR dinilai tidak menghiraukan tuntutan masyarakat agar menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut. Padahal, sejatinya dalam sistem politik demokratis yang dianut negara Indonesia, pembahasan undang-undang atau kebijakan politik harus melibatkan partisipasi publik seadil dan setara mungkin.
Di sisi lain, Indonesia masih terseok-seok dipukul pandemi Covid-19. Sehingga, partisipasi publik tidak akan mungkin bisa berjalan optimal. Ironisnya, pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19.
“Sangat disayangkan, pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tetap dijadwalkan pada 16 Juli 2020 tanpa mempertimbangkan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat,” ucapnya.
Bahkan, pemerintah dinilai malah memanfaatkan momentum pandemi untuk melakukan tindakan politis tanpa partisipasi publik. Terbukti, pada 12 Mei 2020, DPR bersama pemerintah telah menyetujui Revisi Undang Undang (RUU) Minerba menjadi Undang-Undang. Padahal, RUU Minerba merugikan masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem di sekitarnya.
RUU Minerba tersebut awalnya merupakan inisiatif DPR periode 2014-2019 yang pembahasannya malah dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024. “Yang sangat disayangkan juga, yaitu pada 2 Juli 2020, DPR menghapus Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dengan alasan masih menuai polemik,” tutur Pendeta Adventus.
Jika DPR memiliki kehendak politik mengayomi warga negara, semestinya RUU PKS disahkan sebagai payung hukum bagi korban tindakan kekerasan seksual.
SN 09/Editor