Gambar Ilustrasi

Pusat Kajian Korupsi (Pukat Korupsi) UGM menyatakan RUU CIPTA Kerja akan merugikan rakyat

(SPN News) Jakarta, RUU Cipta Kerja sejauh ini telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak pihak yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU tersebut, salah satunya adalah Pusat Kajian Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM)

Pukat UGM memberi 2 catatan terhadap RUU Cipta Kerja yang merupakan inisiatif pemerintah.

Pertama Pukat UGM menganggap RUU Cipta Kerja lebih berpihak pada elit dan oligarki. Sehingga rakyat semakin dirugikan akibat kehadiran RUU Cipta Kerja.

Hal tersebut ditandai dengan sulitnya publik dalam memberi masukan karena tertutupnya akses terhadap draf RUU Cipta Kerja. Akses publik terhadap dokumen RUU Cipta Kerja baru tersedia pasca-RUU tersebut selesai dirancang pemerintah dan kemudian diserahkan kepada DPR.

Baca juga:  MENCARI PENYELESAIAN MASALAH PELAYANAN BPJS KESEHATAN DI SULAWESI TENGAH

“Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha yang salah satunya ditandai dengan komposisi satuan tugas yang didominasi pengusaha,” tulis Pukat UGM dalam rilisnya pada (15/7/2020).

“Fenomena tersebut semakin menguatkan bahwa RUU Cipta Kerja dibentuk bukan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk memenuhi kepentingan pengusaha,” lanjutnya.

Alasan kedua, Pukat UGM menganggap RUU Cipta Kerja akan membentuk sentralisasi kekuasaan. Sehingga membuat Indonesia menuju pada kepemimpinan yang otoritarianisme.

Pola RUU Cipta Kerja yang banyak memberikan kewenangan pada pemerintah pusat memberikan alarm bagi dinamika desentralisasi di Indonesia.

Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan politik hukum pembentukan RUU Cipta Kerja bermasalah karena bercorak seperti zaman orde baru.

Baca juga:  RAPAT DEWAN PENGUPAHAN KABUPATEN PEKALONGAN

Ia berpendapat, sistem presidensil dapat berbahaya jika presiden memiliki kewenangan besar ditambah dengan dukungan parlemen yang kuat.

“Kecenderungan sentralisasi seperti ini dapat mengarah pada otoritarianisme. Problem desentralisasi yang ada saat ini sebaiknya diselesaikan dengan penguatan kontrol dan pengawasan ke daerah, bukan dengan sentralisasi,” ucapnya.

Tak hanya itu, penyusunan RUU Cipta Kerja mengingatkan era pembahasan Revisi UU KPK lalu yang juga minim transparansi dan partisipasi publik.

SN 09/Editor