Ilustrasi THR
BERIKAN HAK ATAS THR DAN AKUI OJOL SEBAGAI PEKERJA
(SPNEWS) Bogor, (21/3/2024) empat serikat pengemudi transportasi daring (dalam jaringan) atau ojek online (Ojol) dari empat Kota: Tangerang, Serang, Sukabumi, dan Jakarta, merespon Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja (SE Menaker) Nomor: M/2/HK.04/III/2024 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) dan pernyataan Kementerian Ketenagakerjaaan (Kemnaker) mengenai diakuinya hubungan kerja pengemudi ojol. Perwakilan ojol menuntut seluruh operator aplikasi (aplikator) segera memenuhi pernyataan pemerintah dan memenuhi hak-hak pengemudi transportasi daring.
Lewat pernyataan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri, pemerintah menghimbau para pemilik aplikasi untuk membayar tunjangan nonupah berupa THR kepada Ojol. Pemerintah menyebut bahwa hubungan kerja antara pemilik aplikasi dan pengemudi termasuk pada hubungan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan berhak atas tunjangan tersebut (Konfrensi Pers Kemenaker Tentang SE THR, 19/03/2024).
Pengakuan pemerintah mengenai adanya hubungan kerja antara pengemudi ojek dan kurir online adalah sebuah langkah besar bagi pemenuhan hak-hak normatif pengemudi ojek dan kurir online, yang harus ditindak secepatnya. Dengan keluarnya pernyataan resmi oleh negara, aplikasi harus segara bertanggung jawab atas pemenuhan hak Ojol sebagai pekerja yang selama ini diabaikan karena sebutan status hubungan kemitraan.
THR merupakan jenis pengupahan yang disebut dengan pendapatan non-upah, hak buruh baik dalam hubungan kerja maupun luar hubungan kerja, dan dibayarkan dalam bentuk uang. Dengan demikian THR tidak dapat diganti dengan istilah lain seperti insentif, parsel, bonus, dan sebagainya.
Jika diamati, pengemudi Ojol merupakan pekerja aplikator yang cara kerjanya sedikit berbeda dengan pekerja pabrik. Hal tersebut juga sesuai dengan unsur pembentuk hubungan kerja berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana aplikasi memenuhi syarat mutlak sebagai pemberi kerja yakni;
(1.) Pekerjaan, berdasarkan jasa pengantaran orang atau barang
(2.) Upah, berdasarkan kerja pengantaran orang atau barang
(3.) Perintah, instruksi kerja melalui algoritma yang ditentukan oleh platform aplikasi.
Dalam sepuluh tahun terakhir Industri Ekonomi Gig berbasis digital dengan pelayanan _ride-hailling, food delivery atau jasa ojek dan kurir online on demand tidak mengakui adanya hubungan kerja di antara pengemudi dan aplikasi. Dilema hubungan kemitraan dilanggengkan oleh pihak aplikasi karena menganggap bahwa pengemudi dan aplikasi setara secara modal, mengalihkan risiko bisnis ke pengemudi Ojol dan membuat seolah-oleh tidak adanya hubungan kerja.
Kenyataan mengenai ketidaksetaraan hubungan tersebut dapat tergambar pasca periodisasi bakar uang berakhir, dimana pengemudi mengalami penurunan pendapatan secara ekstrim setelah dihilangkannya skema insentif bonus berdasarkan pencapaian kerja. Untuk menutupi kekurangan pendapatan, pengemudi bekerja diluar ambang batas jam kerja formal, dengan rata-rata jam kerja 14-16 jam dalam sehari.
Dalam laporan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), dari 2020 hingga 2024, melalui mekanisme algoritma para pengemudi Ojol pemilik aplikasi menurunkan bahkan kehilangan pendapatannya. Tak hanya itu, melalui mekanisme algoritma pula para pengemudi Ojol bekerja tanpa kepastian. Dampaknya, banyak pengemudi terjebak dalam kerja-kerja rentan dan eksploitatif, pendapatan yang minim, jam kerja panjang, kondisi kerja yang semakin memburuk, tanpa perlindungan sosial dan kesehatan.
Hal yang berbalik justru terjadi pada pihak aplikasi. Sebagai contoh, pada tahun 2022, GOTO (Gojek-Tokopedia) milik Nadiem Makarim menjadi perusahaan rintisan dengan nilai valuasi saham 11 Milliar USD, lalu Grab Milik pengusaha Malaysia Antony Tan, menyusul menjadi perusahaan dengan nilai valuasi saham 10 miliar USD. Hal yang menjelaskan bahwa, sederet aplikasi jasa ojek dan kurir online yang digotong oleh modal besar internasional ini mengeruk sebesar-besarnya keuntungan melalui kerja pengemudi.
“Bisnis ini adalah bisnis raksasa yang diakui pemerintah, sedangkan toko baju di pinggir jalan saja membayar THR pekerjanya, kenapa perusahaan raksasa tidak mampu bayar THR pekerjanya. Kami ini sudah bukan mitra lagi karena posisinya tidak setara, dan kerja kami untuk perusahaan raksasa ini sudah seperti pengabdian, bahkan diperlakukan seperti jongos. Jika mereka tidak sanggup bayar THR sementara keuntungan mereka berasal dari keringat kami itu namanya curang,” Kodriyana, Sekretaris Serikat Angkutan Roda Dua (SERDADU).
Dalam kondisi kerja yang semakin buruk, para pengemudi bahkan tidak dapat menuntut hak-haknya, karena tidak adanya pengakuan secara konstitusional atas hak yang mereka miliki, diabaikan oleh regulasi negara selama bertahun-tahun, bahkan dilarang berserikat. Oleh sebab itu, pernyataan negara yang mengakui pengemudi ojek dan kurir online menjadi keniscayaan dan langkah besar untuk perbaikan kualitas hidup pengemudi dan keluarganya.
“Kita berharap Kemenaker hari ini benar-benar, bukan sekedar ‘prank’. Kalau pemerintah mengakui kita sebagai pekerja, mestinya aplikator secara otomatis memberikan kepastian pendapatan dan tunjangan. Dan yang terpenting kita memiliki hak atas kebebasan untuk berserikat. Selama ini banyak kawan-kawan yang berserikat ditolak pencatatannya karena dianggap bukan pekerja,” jelas Lili, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Bangun Nugroho, salah satu pengurus Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (Sepeta Indonesia), “Kami menyambut baik soal SE menaker ini, kami berharap pihak aplikator patuh dan segara menjalankannya minimal H-7 lebaran”.
Menanggapi pernyataan pemerintah terkait THR, pihak aplikator justru memberi pernyataan yang terkesan melawan Negara. Mereka menyatakan tidak akan membayar tunjangan THR karena status pengemudi dan aplikasi adalah hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja ketenagakerjaan yang masuk dalam kategori Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Untuk menghindari tanggung jawabnya, pihak aplikator mencari pembenaran bahwa pernyataan pemerintah tersebut masih bersifat imbauan. Aplikasi juga berdalih pihaknya akan tetap memberi tunjangan dengan menerapkan program insentif khusus berjangka waktu. Program Insentif ini akan diberikan, ketika seorang pengemudi aktif bekerja sebelum masa hari lebaran.
“Dari yang saya lihat apa yang dilakukan oleh aplikasi ini hal lain, masakita disuruh on-bid dulu baru dapat insentif THR. Itu namanya bukan THR tapi upah karena kami sudah bekerja di hari menjelang Lebaran, sementara THR kan bukan upah. Kami berhak atas THR karena pekerjaan kami selama ini memberikan keuntungan untuk aplikator. Aplikator jangan seenaknya menyebut insentif sebagai THR, karena jelas insentif itu bukan THR,” tegas Ida Farida, perempuan yang sudah 5 tahun bekerja sebagai Ojol.
Oleh sebab itu kami dari jaringan serikat pengemudi transportasi berbasis daring menuntut:
1. Mendesak pemerintah untuk mempertegas hubungan kerja Ojol dan aplikator sebagai hubungan ketenagakerjaan dan memberikan segala hak ketenagakerjaan kepada Ojol sebagaimana UU Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO tanpa terkecuali.
2. Mendesak seluruh perusahaan aplikator mematuhi segala aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
3. Mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk bersikap tegas bagi aplikator yang tidak menaati SE THR dan peraturan ketenagakerjaan lainnya sebagai bentuk tanggungjawabnya terhadap rakyat.
4. Mendesak seluruh perusahaan aplikator dan kurir memberikan THR kepada Ojol sebagaimana pernyataaan dari pemerintah.
5. Menolak dengan tegas kebijakan aplikator yang menyatakan program insentif bentuk dari pelaksaan pemberian THR.
*Contact Person:*
– SPAI (Serikat Pekerja Angkutan Indonesia) – DKI Jakarta: Lili Pujiati – 081387385506
– SERDADU (Serikat Pengemudi Angkutan Roda Dua) – Serang, Banten: Triono – 088809878377
– SEPETA Indonesia (Serikat Pekerja Transportasi Kota Tangerang) – Kota Tangerang, Banten: Bangun Nugroho – 082114372253
– SDPI (Serikat Demokrasi Pengemudi Indonesia) Sukabumi – Jawa Barat – Reni Sondari – 0895608539191
SN 09/Editor