Gambar Ilustrasi
Pengusaha seharusnya mengupayakan membantu proses penyelesaian bukan dengan berpihak kepada salah satu
(SPN News) Jakarta, seringkali muncul permasalahan dalam kepengurusan serikat pekerja/serikat buruh. Yang terkadang perselisihan itu menimbulkan dualisme kepemimpinan/kepengurusan yang tentu saja dampakny tidak baik bagi SP/SB tersebut maupun kepada anggotanya.
Ada hal yang harus dilakukan oleh managemen perusahaan dalam menyikapi hal ini. Sebaiknya managemen melakukan konsolidasi (internal –para pengurus- serikat yang berselisih) melalui lembaga musyawarah untuk mencapai mufakat. Ajak pihak (pengurus) lainnya melakukan pertemuan dari hati ke hati demi kepentingan organisasi dan untuk kesejahteraan anggota. Jika dipandang perlu (seandainya masih sangat “alot”), libatkan orang tertentu yang arif dan bijak serta (dipastikan) netral untuk menjadi penengah (“mediator“ atau fasilitator). Tentukan aturan main yang jelas dan tegas sampai pada penyelesaian (dualisme) secara tuntas.
Apabila masih juga menemui jalan buntu, solusinya, selesaikan di “muka hakim”. Apapun yang diputuskan oleh Hakim, itulah yang setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) harus diterima dan wajib dipatuhi oleh semua pihak (internal, maupun eksternal serikat), termasuk oleh pengusaha.
Persoalannya, pengadilan mana yang berwenang memeriksa perselisihan seperti dualisme serikat pekerja?. Jika mencermati ketentuan Pasal 2 huruf d UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa salah satu jenis perselisihan hubungan industrial, (antara lain) adalah perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, adalah perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 UU No 2/2004).
Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa perselisihan mengenai dualisme kepemimpinan dalam satu serikat, ternyata tidak termasuk dalam jenis dan wilayah perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU No 2/2004. Dengan perkataan lain, perselisihan mengenai sengketa kepengurusan dalam satu serikat pekerja tidak dapat diselesaikan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau LPPHI (sebagaimana dimaksud Pasal 136 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan) yang dilakukan secara berjenjang melalui 4 (empat) tahapan, yakni: (a) mekanisme perundingan bipartit; (b) mekanisme tripartit: mediasi atau –melalui- konsiliasi, ataukah melalui arbitrase; (c) prosedur di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI); dan/atau (d) kasasi Mahkamah Agung (vide Pasal 6, Pasal 8, Pasal 17, Pasal 29, Pasal 56 dan Pasal 114 UU No. 2/2004).
Bahkan, undang-undang tidak menegaskan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan internal suatu serikat, dan tidak mengatur pemberitahuan dan pencatatan pergantian kepengurusan serikat (vide Bab II dan III Kepmenakertrans No. Per-16/Men/2001). Sebaliknya, undang-undang hanya mengatur penyelesaian perselisihan antar suatu serikat dengan serikat lainnya dalam satu perusahaan (vide Pasal 35 UU No. 21/2000).
Oleh karena perselisihan kepengurusan ganda bukan merupakan kompetensi PHI atau LPPHI, maka tentu harus diselesaikan melalui peradilan umum (yakni Pengadilan Negeri dan seterusnya), bahkan –bisa jadi- juga melibatkan Pengadilan Niaga jika berkenaan dengan separatisme serikat dan terjadi “perebutan” logo, merek (vide Pasal 77 dan Pasal 80 ayat [1] UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek).
SN 09/Editor