Semakin banyak kantor Bank yang ditutup jelas semakin mengurangi tenaga kerja di sektor perbankan yang tentu saja mendorong lebih banyaknya angka pengangguran
(SPN News) Jakarta, seperti berita yang telah tersebar pada pekan sebelumnya, PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Banten Tbk, merilis kabar penutupan sejumlah kantor cabang dan menyatakan hanya akan fokus menyelenggarakan bisnis di wilayah Banten sebagai upaya menekan beban biaya operasional perusahaan.
Belakangan, kabar jenis tersebut sudah menjadi hal yang wajar didengar dalam industri perbankan. Era distrupsi teknologi tentu menjadi dalang di balik semua kondisi ini. Perlahan tapi pasti perbankan pun mulai berlomba menciptakan produk-produk yang dianggap sesuai zaman dengan prinsip mudah, murah, dan menyenangkan. Intinya, memanjakan nasabah dengan segala layanan tanpa perlu repot mendatangi kantor perbankan.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menilai tren penurunan jumlah kantor bank umum pada Juni 2018 menjadi 31.944 didorong oleh upaya perbankan untuk melakukan efisiensi dalam rangka menekan Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan laba.
“Hal tersebut terkonfirmasi dengan data OJK yang menunjukkan bahwa laba perbankan per Juni 2018 tumbuh sekitar 7,95% yoy,” katanya belum lama ini.
Selain dalam rangka efisiensi, Josua mengemukakan perbankan juga mulai mengoptimalkan layanan teknologi finansial, baik dalam hal pembukaan rekening dan layanan lainnya yang sebelumnya diperoleh di kantor-kantor cabang. Kondisi itu tercermin juga dalam kenaikan volume transaksi e-banking .
Josua menilai pesatnya penetrasi internet di berbagai pelosok di Indonesia akan membuat transaksi perbankan di masa mendatang lebih didominasi oleh layanan transaksi digital. “Upaya menekan biaya operasional akan sejalan dengan tren penurunan kontribusi dari net interest income seiring dengan tren kenaikan suku bunga acuan,” ujarnya. Isu efisiensi perbankan memang mulai kembali gencar seiring dengan perubahan kondisi global yang tengah menuju posisi normal yang baru.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun pernah angkat bicara agar Bank mengerem kegiatan-kegaian ekspansi yang hanya akan mengerus kas perusahaan. Pasalnya, yang paling penting dilakukan saat ini yakni penyesuaian suku bunga.
Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengatakan penutupan kantor terkait upaya optimalisasi saat ini juga dipercepat dengan digitalisasi. Untuk itu, terkait dengan pola perubahan kebutuhan nasabah, misalnya banyak transaksi yang sebelumnya menyebabkan nasabah harus ke cabang, sekarang sudah dilakukan secara mobile . “Dalam hal Bank OCBC NISP kami pun telah merealisasikan penutupan kantor lebih dari 20 di 2018 ini,” katanya.
Wakil Direktur PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Herry Sidharta pun memandang terkait tren penutupan kantor juga dilakukan berdasarkan potensi pasar yang ada, baik dari sisi lokasi yang masih merupakan pusat bisnis utama atau sudah bergeser ke titik lokasi bisnis baru sehingga diperlukan relokasi. Selain itu, pergeseran kearah digital juga menjadi salah satu pertimbangan terkait efektivitas dan strategi efisiensi dalam jangka panjang. Sebagai gambaran tahun ini, BNI melakukan penutupan terhadap 1 kantor kas dan 11 payment point . Penutupan tersebut, juga karena nasabah tetap dapat dilayani dengan BNI O-Branch (BNI Layanan Gerak) maupun mesin mesin ATM Recycle (ATM CRM).
“Rencana tahun 2019, kebutuhan kantor secara fisik tetap ada tetapi secara bertahap BNI tidak akan terlalu ekspansif. Tentu dikombinasikan dengan perluasan jaringan digital sesuai kebutuhan & potensi bisnis serta target marketnya,” tuturnya.
Direktur Utama PT Bank Mayapada Tbk, Haryono Tjahriadi melihat tren penutupan kantor saat ini masih menjadi strategi bank masing-masing. Pasalnya digitalisasi sekarang belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsi kantor. Mayapada pun pada tahun ini masih berencana merealisasikan pembukaan 16 kantor baru.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja menilai sebenarnya keperluan masyarakat akan keberadaan kantor konvensional masih ada. Namun, dengan volume yang semakin menciut. “Nasabah kami 97% sudah melakukan transaksi secara digital, tetapi kita tetap selalu buka kantor. Kalau dulu bisa sampai 80 kantor cabang setiap tahun sekarang paling 20—30 kantor kecil-kecil saja,” katanya.
Jahya pun menilai tren penutupan kantor cabang yang terus berlangsung saat ini justru menjadi hal yang positif. Pasalnya, perbankan sudah mampu melakukan kegiatannya dengan lebih efisien. Pasalnya, kondisi makro dan tatanan Indonesia masih banyak memicu ketidakefisienan. Seperti contohnya, jalanan yang macet membuat biaya logistik untuk pengisian ATM dan pengiriman uang membengkak. Belum lagi, masalah keamanan negara yang belum stabil sehingga setiap kantor cabang harus memiliki satpam. Padahal di luar negeri kebutuhan akan satpam sudah sangat sedikit. Sementara inflasi juga masih tinggi, sehingga gaji harus naik 8% setiap tahun, padahal di banyak negara lain gaji naik hanya sekitar 2% sampai 3%.
Dia juga menilai kebanyakan saat ini kantor yang tutup adalah kantor cabang kecil dengan bisnis mikrobanking, bukan cabang konvensional. “Artinya menurut saya bank sudah lumayan efisien tapi masih harus hidup dalam sistem yang belum efisien,” ujarnya.
Merujuk data statistik Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan jumlah kantor Bank Umum hingga periode Juni 2018 berjumlah 31.944 atau lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu 32.652. Artinya dalam kurun satu tahun itu ada 708 kantor cabang Bank Umum yang tutup. Adapun secara periode bulanan, sejak Mei hingga Juni 2018 ada 22 kantor cabang yang tutup. Tetapi selain faktor untuk efisiensi harus dipertimbangkan pula tenaga kerja di sektor perbankan ini. Bagaimana pun kesempatan kerja bagi manusia harus diprioritaskan ketimbang hanya mementingkan kemudahan teknologi dan keuntungan semata.
Shanto dikutip dari Bisnis.Com/Editor