Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Konflik yang ditimbulkan oleh utang-piutang di antara dua pihak atau lebih dapat diselesaikan secara perdata dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) baik oleh debitur (pihak yang berutang) maupun kreditur (pihak yang berpiutang atau memberikan utang) ke pengadilan niaga.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU pada Pasal 222 ayat (2) disebutkan bahwa,
“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.”
Meski tak dijabarkan secara jelas dalam Undang-Undang, namun PKPU dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk mencapai kata mufakat antara debitur dengan kreditor berkenaan dengan penyelesaian utang-piutang. PKPU dapat pula dipahami sebagai suatu periode waktu tertentu yang diberikan kepada debitur dan kreditor yang ditetapkan melalui putusan pengadilan niaga guna membuat kesepakatan bersama terkait dengan cara pembayaran atau penyelesaian permasalahan utang-piutang di antara para pihak, baik seluruh atau sebagian utang juga kemungkinan dilakukannya restrukturisasi utang tersebut.
Secara lebih sederhana, PKPU juga dapat diartikan sebagai moratorium legal yakni penundaan pembayaran utang yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan guna mencegah terjadinya krisis keuangan yang semakin parah.
Kedua belah pihak yang terlibat dalam permasalahan utang-piutang. Artinya, baik debitur maupun kreditor dapat mengajukan PKPU ke pengadilan niaga. Namun dari kebanyakan kasus utang-piutang yang terjadi, pengajuan PKPU dilakukan oleh pihak kreditor.
Mengapa dari kebanyakan kasus yang terjadi, pihak kreditor yang aktif mengajukan PKPU ke pengadilan niaga? Dalam ikatan atau perjanjian utang-piutang, pihak kreditor sebagai pemberi pinjaman atau utang merupakan pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi atau gagal bayar yang dilakukan oleh debitur. Umumnya kreditor telah melakukan upaya penagihan kepada debitur baik dengan mengirimkan surat tagihan hingga somasi. Namun upaya-upaya tersebut gagal atau menemui jalan buntu sebab debitur abai dan tidak segera melakukan pembayaran utang meski telah jatuh tempo.
Untuk mendapatkan kepastian pembayaran utang melalui ketetapan pengadilan niaga, maka kreditor mengajukan PKPU terhadap debitur-debitur yang ‘membandel’. Pengajuan PKPU tersebut juga sekaligus memberikan kesempatan kepada debitur juga kreditor untuk melakukan kesepakatan ulang berkenaan dengan cara-cara pembayaran utang, termasuk jika diperlukan dilakukannya restrukturisasi utang.
Pengajuan PKPU tak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh debitur. Umumnya debitur mengajukan PKPU apabila kreditor telah mengajukan kepailitan terhadap debitur kepada pengadilan niaga. Berkenaan dengan adanya jenis gugatan yakni kepailitan dan PKPU, maka yang harus diputuskan terlebih dahulu adalah PKPU.
Putusan PKPU oleh pengadilan niaga masih memungkinkan debitur untuk mengelola usahanya sehingga berkesempatan memperbaiki atau mengobati kesehatan finansialnya agar dapat digunakan membayar utang baik sebagian maupun keseluruhan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
SN 09/Editor